6. Saka: Kebimbangan

133 30 38
                                    

Aku sudah menduga jika tidak bisa membohongi Ratna, tapi aku tidak menduga akan ketahuan secepat ini.

Apa boleh buat. Inilah akibatnya coba-coba dengan sesuatu yang tidak aku ketahui, terlebih pada sesuatu yang tidak membuatku tertarik selama beerabad-abad. Ikatan pertalian pasti lebih merepotkan dalam praktiknya dibanding yang aku duga.

Bukan berarti aku mendadak tertarik pada ikatan ini karena seorang wanita problematik di luar sana.

Tapi satu hal yang bisa aku simpulkan, sepertinya rumor soal ikatan pertalian akan saling memanggil lebih cepat dari angin itu benar adanya. Tidak sampai satu minggu setelah aku membangkitkan Arka, masalah sudah muncul di sini. Dari orang yang tidak terduga dan tidak bisa terbaca ekspresinya.

"Kalau aku bilang, ya...." Aku mencondongkan tubuh, sengaja menghampiri Ratna dengan cara memandangnya dari atas. Selayaknya aruna yang memandang rendah mangsanya. Walau pada kenyataannya, jika kengah, leherkulah yang akan tercerabut. "Kamu mau apa?"

Ratna memandangku dengan sepasang mata kelamnya. Dari jauh mata itu hitam pekat dan tampak tidak berdasar, seperti jiwa yang tidak tertebak di dalam wujud gadis muda nan cantik ini. Tapi dari dekat, siapa pun bisa meliaht gurat coklat gelap di iris matanya. Warna yang hampir tidak terlihat, baik karena Ratna yang senantiasa berdiri di balik bayangan dan sorot matanya yang kelam.

Aku terpekur memandangi wajahnya.

Gadis ini ... apa ia tahu betapa miripnya dia dengan inang Klaus yang dulu?

Mata hitam, bibirnya yang tipis, garis wajahnya yang lembut, dan bentuk wajahnya, dia seperti pria Manusia malang itu, tapi dalam wujud yang lebih sederhana dan feminin.

Sayang sekali semua harus berakhir dengan tragis.

Ah, tidak, bahkan baginya, semua ini mungkin belum berakhir. Gadis yang malang.

"Saya ingin tahu alasannya," Ratna menjawab tiba-tiba, menginterupsi pikiranku. "Bukankah akan lebih bagus dan tidak merepotkan jika Aruna seperti Arka dibiarkan tetap tertidur saja?"

Jika kami berada dua ratus tahun lebih awal, aku mungkin akan mengira ucapan itu datang dari monster yang dibesarkan oleh Edric dengan semua pikiran kotornya. Tapi kami bertemu, saling menyaksikan perjuangan dan keputusan masing-masing dan melihat pengorbanan dari orang-orang yang kami kenal di tengah semua ini. Aku tidak bisa memandangnya sama seperti Ratna yang aku kenal dulu.

Tidak peduli seberapa bebal otak binatang abadi di dalam cangkang keras ini.

"Mungkin." Aku mengakui. "Menemukannya juga bukan perkara mudah. Dia diamankan bersama banyak aruna lain yang berada dalam status tidak boleh dihidupkan kembali."

Aku melirik tubuh Eka yang masih terbaring di atas kasur. "Tapi kamu membutuhkannya."

Saat aku melirik lagi, kedua mata Ratna membeliak kaget. Aku tidak terkejut melihatnya bereaksi demikian. Dan aku harap ia tahu, aku tidak hanya sedang membahas Arka.

"Kamu sekarat." Aku memberitahukan kenyataan, berharap Ratna mungkin sudah mengetahuinya.

Ratna meremas selimut yang melapisi dipan tempatnya tidur. Kepalanya sedikit menunduk, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas sorot sedih dan gundah di matanya, diperburuk dengan kekosongan yang mulai menyeruak kembali.

Aku menunggu dalam diam.

Sorot kosong dari mata itu bukan kali ini aku lihat.

Sorot itu ada di sana, ratusan tahun lalu, di hari terakhir pertempuran kami melawan Edric. Tepat setelah Edric mati. Tepat setelah Klaus memalingkan muka dari nasib gadis ini dan semua perasaannya yang ikut luruh dalam tragedi. Dan akibatnya, semua tragedi itu terulang kembali.

Blood and CurseWhere stories live. Discover now