16. Eka: Masih Sama

47 16 3
                                    

Sebelum aku sadar, aku sudah bersembunyi. Jauh dari Nara yang datang. Jauh dari perhatian dan tatapan mata orang-orang. menghindari kemungkinan adanya saksi mata yang dapat memberikan kesaksian ada anak perempuan aneh yang membawa-bawa pedang nyasar ke Pandeglang.

Asalkan aku tetap diam dan aromaku tidak terbawa angin atau menempel di mana pun ... aku seharusnya aman. Ya, jika tidak terlihat, aku akan tetap aman.

Sial, kenapa bisa Aruna satu itu ada di kota ini?!

Aku tidak dapat kabarnya sama sekali! Ratna juga tidak! Eh, tunggu, mungkinkah Ratna luput dari kabar ini? Tidak mungkin ia sengaja tidak sadar pada hal ini, kan? Mempertemukanku dengan Nara tidak membawa keuntungan apa pun baginya kecuali—oh, sial, dia, kan tadi menghilang?

Berengsek! Apa aku terjebak dalam rencana orang lain lagi? Aku jadi bidak yang dibuang seenaknya oleh perempuan satu itu?

Oke, aku harus mencarinya dulu dan menghajarnya kalau memang dugaan itu benar!

Resek! Aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk melawan balik! Ini curang namanya!

Argh, aku bahkan tidak ingat sekarang kenapa aku sembunyi dari Nara tadi! Kalau ini memang jebakan dari Ratna dan gadis itu sengaja melakukannya, sudah sebaiknya aku keluar, kan? Persetan dengan penjelasan dan segala tetek bengeknya! Itu bisa diurus nanti!

Tapi—argh, aku pusing! Otakku tidak dibuat untuk berpikir serius begini, woy!

Mencoba tenang, aku pun menarik napas berkali-kali. Semakin laam semakin pelan. Sembari di dalam kepalaku, berputar berbagai skenario yang mungkin terjadi jika aku keluar dan menentang semua rencana Ratna yang gila ini.

Aku bisa saja keluar dan menyambutnya, seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti sebuah keajaiban. Biar bagaimanapun, aku sudah dua tahun tidak ada. Ratna juga bilang, mungkin kami berdua sudah dinyatakan dan diyakini mati oleh orang banyak. Muncul pun, sebenarnya tidak akan ada masalah. Kami mungkin hanya akan dianggap keajaiban.

Nara mungkin akan bahagia juga melihatku.

Mungkin.

Jika apa pun aku sekarang ... tidak membuatnya ketakutan.

Sial, membayangkan ia takut kepadaku, suasana hatiku jadi buruk sekali tiba-tiba!

Memang, muncul dan memberitahukan bahwa aku selamat akan membawa dampak bagus—mungkin.

Mungkin Nara akan senang. Mungkin aku tidak akan lagi dicap sebagai korban yang meninggal di hari naas itu. Mungkin, Pak Darius dan Kak Radit akan tahu dan ikut menyambutku.

Ayolah, Eka, tidak mungkin ia akan takut padamu, kan? Ia sudah hidup lama, jauh lebih lama daripada dirimu! Dari segi mana pun, ia jauh lebih kuat darimu dan tidak punya alasan untuk takut padamu! Ia tidak mungkin akan takut begitu mudah hanya karena kau sekarang sedikit lebih kuat! Sadar dirilah! Kendalikan dirimu!

Tapi ... apa benar itu yang aku inginkan sekarang?

Apa aku siap kembali ke dunia dan menyandang status "penyintas"? Aku siap ... untuk kembali dalam pantauan dan radar kewaspadaan orang-orang?

Tidak, aku tidak yakin sudah siap ataupun yakini ini saat yang tepat.

Terlepas dari apa tujuan Ratna sebenarnya—kalau memang ia merencanakan semua ini—kenyataan bahwa kami belum mencapai tujuan kami untuk tiba di kota ini, tetap tidak berubah. Tidak ada yang selesai. Masih ada yang harus kami tempuh.

Terasa beban yang berat di dadaku. Lubang yang tadi menganga, seperti mengeluarkan darah yang sangat banyak sampai napasku sesak karenanya. Menyadari fakta bahwa aku belum bisa muncul ke hadapan Nara ... tidak membuatku bahagia sama sekali.

Blood and CurseWhere stories live. Discover now