21. Ingkar

747 127 32
                                    

HAI! SENENG NGGAK AKU UPDATE LAGI! MAAF YA UPDATENYA LAMA.

Mau ngumpulin orang yang nunggu cerita ini update sampe kesel sendiri, mana nih?

Gebuk online Auhtornya gak pa-pa, serius gak pa-pa biar sadar diri gak males buka lapak ini hahahh:(

***

"Akhirnya, kita bertemu lagi."

Suara itu membuat alarm tanda bahaya di kepalanya berbunyi. Lentera melebarkan matanya, ia menggeleng ketakutan. Gadis itu menatap sekeliling, mencari di mana bangunan-bangunan megah tadi? Lentera tersadar. Saat ini ia dalam bahaya.

"Waktunya untuk menyiksamu." ucapnya dibarengi tatapan mengerikan.

"Pergi kamu!" bentak Lentera.

"Pisau, suntik dan cairan mematikan ini merindukanmu, Lentera. Mari kita membuat seni luka lagi, melukis banyak guratan yang mengalirkan darah. Membuat urat-urat nadimu putus, dan menusuk daging-dagingmu."

Sekeras apapun Lentera menghindar. Tangan kekar itu berhasil menggaetnya, menyeret secara paksa menuju gudang.

"Kenapa kamu selalu menghindari saya?" pertanyaannya dibarengi sebuah hentakan pada tubuh Lentera. Dicekik sampai gadis itu kesulitan bernapas.

"Tidak ada waktu lagi, kematian kamu sudah dekat." seringai mengerikan itu terbit. Ia mengeluarkan pisau dari dalam saku Jas putihnya. Dihadapkan tepat pada wajah Lentera.

"Jangan!" pekiknya yang justru membuat laki-laki itu tertawa. Apa katanya? Jangan? Apa itu? Seorang Gavin tidak kenal sebuah larangan. Semakin takut mangsanya maka akan semakin menarik untuk ia usik.

"Saya selalu ingin melukaimu, anak manis." ungkapnya dibarengi gerakan menekan pisau pada leher Lentera. Darah kental itu mengaliri tulang selangkanya. Membuat noda merah pada kerah piyama yang Lentera pakai.

"Deeva lebih menderita dari ini, dia tidak diberi waktu untuk merasakan detik-detik terakhirnya menikmati napas yang tersisa. Deeva mati saat itu juga." ujarnya mengungkit masa lalu.

"Aku bukan Deeva!" bentak Lentera. Netranya melebar dengan genangan air mata di pelupuk matanya. "Karena itu jangan samakan aku dengan Deeva. Bunuh aku dengan cara yang berbeda dari kematian Deeva!" sahut Lentera berucap penuh amarah. Ia mengepalkan kedua tangannya namun ia sembunyikan di balik punggung. Karena saat itu, tubuhnya berada di bawah kukungan seorang Gavin.

Tersenyum. Sebuah senyum meremehkan kalimat gadis itu. Ia mengambil benda lain, berupa suntikan yang akan melumpuhkan Lentera saat itu juga.

"Hanya karena kamu memiliki orang-orang yang melindungimu, bukan berarti kesempatan matimu tertunda. Mereka tidak akan tahu kapan saya menyelinap dan menyiksamu di sini." tutur Dokter Gavin. Perlahan ia menusuk lengan Lentera. Menekan jarum suntik itu sangat dalam. Bahkan Lentera sampai menjerit kesakitan. Saat itu juga tubuhnya layu. Tergeletak di ubin yang kasar.

"Kalau saja papamu tidak mengusik ketenangan di keluarga saya. Semua ini tidak akan terjadi pada dirimu." Dokter Gavin mengusap wajah Lentera. Sentuhan itu sangat lembut. Gadis itu menangis dalam diam. Merasakan otot dan sendi-sendi tubuhnya terasa mati.

My Perfect PsikiaterWhere stories live. Discover now