Don't cry, Brother! chap. 3

11 3 0
                                    

***

Sunyi. Malam yang dingin dan sunyi.

Tidak terdengar satupun suara serangga, tidak ada suara orang berbicara, hanya terdengar suara napas dan semilir lembut angin malam. Disinilah ia berada saat ini. Bukit tinggi di pinggir kota, padahal kereta terakhir akan berangkat 10 menit dari sekarang, tapi [Name] tidak ingin meninggalkan kota teater ini.

[Name] tidak peduli akan menghabiskan malam yang dingin ini dimana. Pikirannya kini terfokus pada pemandangan malam lampu jalanan. Ia hanya ingin menenangkan diri. Menetralkan kembali pemikirannya setelah meluapkan beberapa fakta kepada keluarga baru saudara kembarnya.

"Sesuai dugaan ku, [Name] memang pandai menemukan tempat sembunyi, ya."

Gadis manis itu menoleh. Menemukan sosok Omi yang tersenyum hangat padanya. Manik purple sang mangaka kini teralihkan dengan sekantong plastik penuh uap panas.

"Ini untukmu, aku mendapat telpon dari Yumeno-sensei. Dia bilang kau tidak ada di rumah, hampir saja mereka menelpon polisi karena takut kau diculik atau menghilang." Omi tertawa pelan, menyodorkan sekantong plastik berisi bakpao hangat.

[Name] menerimanya dengan tangan terbuka. Tidak lupa mengucapkan terima kasih pada teman fotografi nya itu. "Aku tidak yakin mereka akan melakukan itu. Gentarou-san bukan tipe seseorang yang akan panik ketika mendengar kabar aku pulang malam atau menghilang," sangkalnya.

Omi lagi-lagi tertawa pelan. "Kau tidak tau sisi seperti apa yang Yumeno-sensei sembunyikan. Bisa jadi itu berbeda dari semua sisi yang kau kenal selama ini," balasnya.

[Name] hanya berdehem pelan, malas menanggapi perkataan Omi kalau sudah menyangkut kasih sayang ayah angkatnya itu pada dirinya.

Hening.

Tidak ada dari mereka yang saling buka suara. Pikiran mereka sama-sama terfokus pada hal lain. Namun walau begitu, mereka tidak merasa canggung. Keheningan ini cukup nyaman, itulah yang mereka pikirkan.

[Name] sudah menghabiskan cemilan malamnya. Omi hanya tersenyum tipis ketika melihat gadis manis itu membersihkan sisa bumbu yang menempel di jarinya. Apa [Name] sangat lapar sampai-sampai menjilat jarinya sendiri?

"[Name], kau yakin tidak ingin berkunjung lagi?"

Mangaka muda itu tersentak. Pertanyaan yang Omi ucapkan membuatnya mengingat kembali kegundahan hatinya yang telah terlupakan beberapa menit lalu.

[Name] mengatakannya. Gadis mangaka itu membeberkan lagi rahasia besarnya kepada keluarga baru Tenma. Mengenai semua hal yang berhubungan dengan masa lalu Tenma dan dirinya. Padahal mereka hanya orang asing bagi [Name], kenapa pula [Name] menceritakan hal seperti ini pada mereka?

Apakah karena mereka keluarga baru saudaranya yang keras kepala itu? Yah, mungkin itu benar.

“Mungkin. Kalau aku terus-terusan kemari, bisa saja itu akan menyulitkan kalian. Omi-san juga tau alasannya, ‘kan?”

“Tadi… kau sempat berbohong  ‘kan, [Name]?”

Manik [Name] membola. Bagaimana bisa Omi mengetahuinya?

“Walau tidak semuanya bohong, tapi tetap saja, semua yang kau ucapkan itu hanya dilebih-lebihkan, bukankah begitu?”

[Name] terdiam. Ia memang melebih-lebihkan beberapa kalimat atau bahkan mengubahnya menjadi suatu hal lain. Itu lebih baik daripada mereka mengetahui ketakutan terbesar [Name].

Hope & Dream Project Where stories live. Discover now