Ne spat' (tidak tidur)

20 28 0
                                    

Apa yang akan kalian lakukan ketika mendapat pesan teror? Mengabaikannya, atau merasa takut seperti keenam orang yang berada di ruangan yang biasa di sebut kamar. Mereka semua tidak ada yang berani memejamkan mata, takut-takut kalau pembunuh Ola akan membunuh mereka ketika tidur.

Bahkan Adit dan Bima yang tadinya hanya ingin mampir sebebentar, ditahan oleh para gadis karena rasa takut yang menjalar. Jadilah mereka begadang bersama. Sekarang sudah pukul 3 pagi.

Indira menguap, ia benar-benar mengantuk namun takut menutup mata. Gwen, gadis itu memejamkan mata lelap seraya menyenderkan kepalanya pada bahu Adit, bau-bau asmara bisa tercium diantara keduanya.

Sedangkan Adit, Bima, Mala, Riska mereka benar-benar tidak bisa tidur.

"Stop liatin hp lo Ris". Mala jengah dengan Riska, sedari tadi menatap hp dan melirik pecahan kamera yang beberapa jam lalu dibanting dengan sekuat tenaga oleh Bima.

Riska hanya melirik sekilas, lalu mematikan hpnya.

"Mal, lo takut gak sih sama kejadian kemaren, ditambah sekarang kita dapat pesan teror gini?" Mala menatap Riska iba, Riska biasanya paling barbar diantara mereka. Tapi sekarang lihatlah perempuan itu seperti kehilangan hasrat untuk hidup.

"Jelas gue juga takut, Ris. Siapa yang gak terguncang coba setelah ngeliat mayat gak utuh kayak gitu? Gue yakin, nih dua kecebong juga takut". Adit, Bima mendelik tajam apa maksudnya dengan kecebong coba.

"Kalo kita berdua kecebong, terus lo apa Mal? Telor kodok? balas Bima tak terima, sedangkan Mala gadis itu hanya terkekeh kecil, ia sedang berusaha menghilangkan ketakutan dan kantuknya. Menghibur diri.

Riska menggelengkan kepala lelah dengan tingkah Bima yang tidak mau mengutarakan perasaanya pada Mala, dan lagi gadis itu tidak pernah peka. Kenapa dirinya dikelilingi orang-orang yang sedang kasmaran sih.

"Bukan telor kodok Bim, tapi emaknya kodok, terus lo bapaknya, hahahaha". Tawa Adit mendominasi. "Kenapa jadi bahas kodok sih?" padahal Mala cuma menyebutkan kecebong kenapa pembahasannya jadi jauh banget.

"Kan lo duluan yang bahas kecebong maemunah!" balas Adit disela-sela tawanya.

"Lo, lo dan lo, stres semua". Tunjuk Riska pada ketiganya, lalu ketiganya tertawa mendengar respon itu." Nah gitu dong Ris, barbar lagi. Takut gue ngeliat lo parno mulu, kayak bukan Rwiskwa Buanget gitoh." Pungkas Mala mendramatisir, disusul gelak tawa.

"Sekarang bukan waktunya becanda Mal, salah satu teman kita meninggal, dan kalian masih bisa becanda?"

Mala menghentikan tawa, menepuk bahu sahabatnya itu, "gue juga tau Ris, gue gak buta pas ngeliat mayat Ola, pembunuhnya benar-benar psycho. Dan gue takut, otak gue terus berpikir gimana kalo korban selanjutnya adalah gue? Gue gak bisa bayangin rasa sakitnya gimana?"

Ruangan itu kembali hening, mereka menundukkan kepala, tak ada yang berani berkomentar setelah mendengar kalimat Mala. Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya mereka semua memang takut. Apalagi, mengingat mayat Ola dalam keadaan tidak utuh menambah rasa takut mereka.

~

Paginya ketika keenam manusia itu sampai di kampus, ternyata berita tentang kematian Ola sudah menyebar dengan cepat, bahkan ada beberapa foto yang di ambil dengan kamera ponsel disebarkan pada grup chatt fakultas masing-masing.

"Siapa sih yang nyebarin fotonya?" Indira menatap room chatt fakultasnya. Merasa mual melihatnya, Indira mematikan hp.

"Orang gila mana lagi yang berani nyebarin informasi begini?" Tanya Riska kesal, masalahnya, kejadian ini terjadi di apartement miliknya, jelas dia akan ikut jadi buah bibir warga kampus. Dia tidak mau image dirinya semakin buruk.

you know I see youWhere stories live. Discover now