Jalan Pulang Dibalik Sejadah

65 17 5
                                    


Music Recommended:
Nadin Amizah-Menangis Di Jalan Pulang

"Kita sepasang manusia yang mencari rumah"

BumiPutra

James Hilton dalam novelnya-Lost Horizon-menggambarkan Shangri La sebagai lembah mistis dan harmonis, dengan perpaduan dari masa lampau, dan tertutup di ujung barat Pegunungan Kunlun. Shangri La telah menjadi identik dengan surga duniawi, namanya menyiratkan orientalis yang eksotis. Orang-orang menyatukannya dengan Atlantis bersama El Dorado dalam satu baris tempat penuh misteri.

Namun, prespektif manusia selalu berbeda-beda. Mungkin bagi James Hilton Shangri La adalah tempat fiksi. Sebagian orang lain hanya menganggap mitos belaka. Tapi bagi Mahija Shangri La adalah apa yang orang-orang sebut tempat pulang.

Pagi berikutnya, Jaemin terbangun di waktu sepertiga malam. Termenung dalam ranah yang belum Mahija sibak dengan sepenuhnya. Tangannya masih memegang sejadah ketika Jaemin menatap padanya dan bertanya, "Apa kamu memang selalu terbangun sepagi ini?"

"Ini rutinitasku Jaemin."

Dan mengejutkan sekali ketika Jaemin mengajukan, "Besok-besok bangunkan aku juga Jeno." Dengan bibir merah merekahnya yang kembali menyungging senyum. "Aku akan menemanimu."

Mahija hanya mengangguk, mengiyakan begitu saja pun tidak bertanya lagi sebab Jaemin itu pemuda random yang dipadu padankan dengan kepribadian yang unik. Sudah terhitung lima hari bersama Jaemin membuat Mahija paham, Jaemin itu kadang butuh tempat untuk dirinya sendiri dan lalu tidak perlu susah-susah menanyakan apa yang pemuda itu lakukan. Jaemin punya caranya sendiri menjelaskannya.

"Bukankah kau Na Jaemin?" ini Mark yang bertanya heboh ketika duduk dalam satu meja dijam sarapan. Alis camarnya terangkat begitu sumringah ketika membetulkan tebakannya sendiri, "Benar ini kau."

"Lee Minhyung? senang berjumpa denganmu disini." Jaemin membalas Mark dengan bahasa ibu kandungnya. Mahija itu minim bahasa asing, hanya mengerti bahasa internasional yang itupun kadang Mahija tidak mengerti juga. Tapi Na Jaemin ini, pemuda yang tidak ingin Mahija lewatkan satu bagianpun yang berkaitan dengannya. Na Jaemin bagi Mahija sudah seperti Shangri La, pemuda itu terlalu susah disikap hanya dengan cara biasa.

"Tidak kusangka bisa melihat seorang Na yang terhormat disini." Begitu Mark usai melontarkannya dengan sigap pemuda camar itu berdiri, membungkukkan diri. Sudah selayaknya sarapan pagi ini adalah acara formal dengan kemeja berdasi dan percakapan rumit.

"Tidak perlu bersikap formal begitu Minhyung-ssi." Dan Jaemin serupa petinggi yang menunjukkan kerendahan diri dengan cepat-cepat menahan bentuk penghormatan yang relatif berlebih. "Disini kita sama-sama seorang pelancong."

"Terakhir aku melihatmu dipenghargaan sains tiga tahun yang lalu. Mengejutkan sekali melihatmu disini menjadi seorang pelancong. Ku kira kau bakalan melanjutkan penelitianmu." Mark masih penuh dengan raut keterkejutan, alis camarnya terangkat tinggi dengan kedua manik penuh binar. Mahija jadi penasaran seserius apa percakapan mereka itu.

"Penelitianmu masih membuatku tercengang."

Mahija sempat mengira percakapan mereka akan memakan waktu yang lama. Tapi pemuda camar itu terlihat begitu buru-buru mengakhiri percakapan. Mark seperti tengah dikejar-kejar oleh sesuatu. Pemuda Kanada itu dengan cepat berlalu, menghilang dibalik lobi dengan telpon genggam disisi telinganya. Kopinya bahkan masih mengepul tinggi, salam terakhirnya bahkan hanya menyebut nama Na Jaemin.

Bumi Putra [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang