Seperti Tulang Yang Patah

60 12 9
                                    


Music Recommended:
Nadin Amizah - Seperti Tulang

"Kalo sudah tidak kuat, bilang saja ya sayang."

BumiPutra

Kembali berarti memutar ulang serangkaian yang lalu. kembali berarti berjalan mundur. Kembali berati siap menyambut lagi. Sejatinya manusia hanya berkunjung sesaat sebelum dipanggil kembali. Sama halnya puncak Qomolangma yang cepat bersembunyi, secepat itu pula Mahija harus kembali. Mahija harus pulang, kampung memang nyatanya mengikat, sejauh apapun Mahija kabur pada akhirnya Mahija akan tetap kembali. Jika bukan Romo dan mama yang menunggu, setidaknya Raga dan ibu menantinya.

Bandar Udara Internasional Adisutjipto nyatanya terjejaki lagi. Suara siaran berdengung-dengung dipengeras suara, tante-tante bercicit-cicit kebingungan mencari barang hilang, suara para porter berkerumun mencari rezeki disisa hari, ramai kegaduhan menjadi satu. Selamat datang di Yogyakarta, sang kota istimewa, tanah kelahiran seorang Mahija Jeno. Yang katanya kota istimewa namun nyatanya samar dalam pelupuk Mahija. Kota tumpuan ibu, disini ibu melahirkannya, disini saksi bisu bagaimana Raga kembali melebur didalam tanah, dan disini pula Mahija meninggalkan semuanya dalam keterpengecutan.

Rumah joglo Romo masih sama suramnya, saka masih menjadi penyangga terkuat menompang atap-atapnya, pendhopo dan pringgitan tetap saja terasa sepi hingga kini dari semenjak ibu pergi, sementara omah ndalem masih terasa asingnya untuk Mahija singgahi. Hari-hari dulu Mahija hanya habiskan disenthong kiri, Mahija hanya tidak ingin membuat hari rama menjadi buruk mendapati Mahija bergabung.

"Den Bagus?!" Mbok Tarni tidak berubah, masih saja memanggilnya dalam gelar. Matanya tergambarkan rasa haru, setitik rindu, dan ketidakpercayaan. Bagaimanapun Mahija lebih lama diasuh oleh Mbok Tarni daripada ibu. kebaya usangnya selalu menjadi gambaran ibu, tangan kasarnya selalu menjadi pengganti, bahu tegarnya adalah tempat Mahija dulu bersandar.

"Nggih mbok, puniki Mahija," Mahija membenarkan, tersenyum hingga kedua matanya menerbitkan sabit. "Romo ing pundi, mbok?" tetap saja, Romo adalah hal pertama yang Mahija tanyakan.

Dan setiap kalipun rama terucap darinya, mbok Tarni selalu menunjukkan sendunya. Mahija tahu betapa nelangsanya mbok Tarni yang selalu mengiringinya mengais kasih sayang rama untuknya. Tapi Mbok Tarni tidak akan bisa mencegah, jadi beliau akan berkata, "Ayo mbok antar, Den." Sambil menunujukkan senyum tegarnya.

Romo bagaimana ya? apakah Romo juga merindukannya?

Sepanjang kaki-kaki Mahija menapaki lantai kayu menuju omah ndalem, Mahija begitu berdebar, jantungnya memompa darah jauh lebih cepat, euforia-euforia merusak realita, ekspetasi membumbung merajai isi kepala. Konyolnya adalah dulu Mahija merutuki kebodohan Jaemin yang masih menganggap besar ekspetasi dibanding realita. Sejatinya manusia adalah sekumpulan makhluk yang terlalu berharap besar pada ekspetasi.

Romo ada diruang tengah. Seperti yang lalu-lalu tempatnya selalu berada diatas kursi goyang bersama koran. Segelas kopi hitam masih mengepulkan asap tergolek diatas meja ditengah ruangan. Mama juga ada disana, menyulam benang woll. Baik rama dan mama jarang menyalakan televisi, lebih suka membuka buku-buku tebal. Pun Mahija tubuh besar dengan didikannya yang secara tidak langsung itu.

"Romo, mama.." panggilnya, harap-harap senang disabut dengan pelukan hangat. Romo menatapnya, dingin sekali tapi Mahija terlalu buta. Mama juga, raut ayunya yang menjelaskan tanpa susah menunjukkannya, tapi sekali lagi Mahija terlalu ditenggelamkan pada ekspetasi.

Bumi Putra [NOMIN]Where stories live. Discover now