Titik Penjemputan Setelah Menunggu

66 13 3
                                    


Music Recommended:
Banda Neira - Sampai Jadi Debu

Sejatinya, manusia hidup untuk menunggu. Lantas, sampai batas mana kalian telah menunggu?

Bumiputra

Sama layaknya kereta China yang pernah disinggahi meski sebentar, nyatanya pasar di tengah ibu kota jauh memiliki dinamis lebih rangkup, ibu kota sesungguhnya yang diselundupi beragam manusia-manusia penghuni kota. Tempat terbaik untuk menamati manusia. Akhir-akhir ini pagi dilewatinya dengan Satu, dua, hingga delapan sak karung beras dipanggul dipunggung, melewati kios-kios grosir yang telah buka jauh sebelum subuh berkumandang, tidak lupa dibawah tenda-tenda biru suara menawar tersiar dengan semarak, meloncati selokkan berbau busuk penuh lalat-lalat sebesar kuku, kucing-kucing kampung tampak bergerumun melingkar silih berganti mengais sisa-sisa ikan diujung pasar.

Handuk diikatkanya dikepala, lengan baju tidak henti-henti digulungnya setiap menambah penat dipunggung, peluh merambat membasahi pelipis hingga berbekas dileher baju. Menjadi sama layaknya seperti kucing kampung yang mengais-ngais. Lima puluh ribu rupiah tersodor padanya begitu delapan sak karung beras sukses terbawa hingga kios Takcik dengan selamat. Luar biasa Mahija bersyukur menatap penuh binar hanya karena selembar uang kertas biru pada tangan.

"Kopi Mahija?" Pak Terjo menyodorkan segelas plastik kopi panas padanya. Teko berisi kopi ada disatu tangan lainnya. Asap masih mengepul, membentuk embun ditepian gelas plastik, samar-samar tercium rasa pahit kopi, menggodanya untuk meniliknya. Tapi kopi tidak pernah bersahabat baik padanya dipagi hari. Mahija menggeleng, mengulas senyum tidak enak sebab menolak.

Pak Terjo membalas dengan mengangguk, ikut mengambil duduk didepan kios yang tutup disampingnya. Nafasnya terdengar berat, tas pinggangnya dilepaskannya-dionggokannya pada sisian tubuhnya dengan ringan, bergumam akan isinya yang hanya berupa selembar uang berwarna biru dan beberpa koin kuning. "Gak ngantuk emang kamu Mahija?" kopinya terteguk seraya lontaran tanyanya mengudara, menginvasi keramaian dengan suara tuanya yang serak. "Masih lama lho ini truk muatannya dateng. Itung-itung sarapan," Ingatnya pada Mahija.

"Gak bisa ngopi paklek pagi-pagi," Balas Mahija, tertanggapi oleh si tua Terjo berupa 'oh' memaklumi. Raut tuanya menatap lurus pada jalan becek pasar, sudut matanya yang telah mengendor seperti tengah berkisah, tubuh tuanya tampak hampir tumbang. "Juga ya paklek, gak baik perut kosong langsung diisi kefein,"

Kekehan tuanya menyambang ditengah ramai pasar. Nadanya sumbang tapi begitu lepas. "Beli nasi bungkus sih bisa Ja, tapi orang rumah gak bisa makan nanti," Pak Terjo memang melontarkan sederet kalimat yang terdengar jenaka, tapi itu cukup menohok Mahija. "Paklek gak punya cukup uang Ja." Pak Terjo meringis.

Perasaan bersalah mendera Mahija. Menjadi rakyat bawah memang selalu berkawan baik dengan kekurangan. Terik diterjang dengan kengototan luar biasa, badai diterobos dengan kepercayaan tinggi, tentunya semua demi sekresek beras untuk ditanak. Bisa makan untuk hari ini saja, syukurnya bukan main. Cukup nasi dan garam sudah lezatnya mengalahi restoran ternama. Hidup memang selalu punya jalannya sendiri.

Diam-diam Mahija mengeluarkan selembar uang berwarna biru yang belum lama ini tertahan dikantongnya, diselipkannya pada tas pinggang Pak Terjo ketika pria tua itu buru-buru pergi menyambut truk muatan beras. Mahija bisa mencari lagi nanti, masih bisa menahan lapar sebentar lagi, masih sanggup melangkah mengais lembaran yang lain. Raganya masih muda, masih bisa berkorban lagi.

Mahija jadi merindukan Jaemin disaat-saat seperti ini. ketika lelah mendera, menggerogoti raganya, melemahkan keyakinannya, Jaemin layaknya seorang penuntun. Jaemin memang selalu sukses membawa Mahija kembali.

Bumi Putra [NOMIN]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora