Seperti Detak Jantung Yang Bertaut

64 11 2
                                    


Music Recommended :
Nadin Amizah-Bertaut

"Ja, sejak kapan kamu sebuta itu?"

BumiPutra

Dalam ingatan masa kecil Mahija, segelas susu dari Mbok Tarni layaknya sodoran dari tangan ibu sendiri. sama layaknya Raga. kiranya Mahija bisa merasa seperti apa yang Raga rasakan disaat-saat ibu masih menjejak bumi dengan tegap. Tungku pembakaran adalah tempat mbok Tarni menghabiskan waktu. Bersama kayu-kayu yang membakar diri dan arang-arang hitam menjadi dempul wajahnya. Baju kebayanya masih melekat apik. Romo memang menjunjung tinggi budaya melebihi harga diri. sebab itu ibu dalam pelupuk matanya selalu bersama kebaya hijau, persis seperti apa yang mbok Tarni kenakan. Rasanya seperti ibu masih berdiri disini, tidak mengikuti Raga meleburkan diri.

Api ditiup-tiupnya, panas bara sudah serupa air dingin, bersama panci-panci dengan alas menghitam. Dapur memang menjadi tempat Mahija melakukan segala hal. Sambil menatap Mbok Tarni yang terlalu obsesi membakar ini-itu. Nostalgia rupanya cukup mencekik juga. Sebab disaat-saat dulu dirinya menghitam didapur, ada Raga yang akan berlarian bermain dengan Romo dan ibu diluar.

"Ngemut-emut masa alit, den?" Mbok Tarni melontar tanya didepan tungku yang menyala-nyala menjilat wajan. Tangan tuanya masih sesegiap mudanya ketika menggerus bumbu diatas penggorengan. Bibir pucatnya tersenyum, berkata pelan, "Mahija gak berubah ya."

Tingkatan mana manusia bisa dikatakan berubah tidaknya? mbok Tarni mungkin menganggap Mahija masihlah seorang bocah yang mana telapak kakinya masih tidak sampai menjejak tanah-bergelantungan diudara dari bangku rotan tua yang tidak pernah dipindahkannya didapur. Mahija mendengus main-main, menggeleng maklum, sebelum bangkit mengambil alih sodet ditangannya. "Pundi Wonten. Mahija samenika sampun saged rencangi mbok masak. Dadose Mahija sampun ageng mbok," Mahija menyengir, memperlihatkan sabit pada matanya, memunculkan tawa renyah mbok Tarni mengudara.

"Mahija sudah tumbuh dengan baik. Mbok lego dadine." Banyaknya membuat Mahija meringis kala senyum lega Mbok Tarni terlihat begitu jelas saat beliau mengulasnya tanpa beban. Manik tuanya menatap lamat-lamat pada merah bara api. Sekiranya mengingat-ingat akan waktu dulu. daripada ibu, Mahija ingat, kecilnya lebih sering ditimang oleh wanita tua disampingnya ini. bahkan masih teramat jelas bagaimana orang-orang berkisah kecilnya dulu sempat disusui oleh beliau sebab ibu merasa tidak ingin.

Bang Jeffrey mungkin benar. Sebetulnya Mahija pulang bukan karena alasan sebatas ibu atau Raga yang menunggunya. Atau bahkan Romo yang mustahil itu. tapi kiranya Mbok Tarni yang menunggu pulangnya.

Bersama wewangian bumbu dapur yang mulai semriwing mengudara, menginfansi oksigen dengan bebauannya yang khas, Mahija melontarkan tanya, "Mbo puniki punapa ndamel Romo?" Mahija masih ingat bagaimana sukanya Romo dengan rawon sapi. Diliriknya rebusan daging sapi ditungku satunya, mengepul-ngepul, hampir melebih batas panci. Jika Mahija yang masak, Romo pasti bakalan senang bukan?

"Supados Mahija ingkang masak nggih mbok." Mahija tahu betul, selekas penyataannya mengudara, secepat itu pula Mbok Tarni merubah rautnya. Sendu kala memandangnya dan anggukan pelan persetujuannya pada Mahija, banyaknya membuat hatinya teriris. Mbok Tarni terlalu tahu seluk beluk rumah ini. pun dengan tabiat-tabiat penghuninya. Bahkan kisah-kisah yang tersemat, mbok Tarni terlalu hapal diluar kepala.

"Mbok, tenang mawon. Romo mesthi remen." Mahija bergumam 'hehe' diakhir. Ingin sedikit menghilangkan cemas yang tertera dengan tiba-tiba dalam sukma Mbok Tarni yang terpampang jelas dirautnya itu.

Bumi Putra [NOMIN]Where stories live. Discover now