Hal-Hal Yang Tak Kita Bicarakan

34 4 4
                                    

Music Recommended:
Langit dan Laut – Banda Neira

Seperti Langkah-langkah menuju kaki langit. Seperti kenangan, akankah bertahan?

BumiPutra

Motor buntut pak Terjo merayap perlahan diatas jalan bebatuan terjal. Menghindar lobang genangan air dan berkelok-kelok menuju desa. Mahija melihat wajahnya yang terpantul kaca spion dibalik punggung renta pak Terjo yang bergetar karena tawa sumbangnya selepas melontarkan lelucon garing. Wajah hitam kemerahan terbakar ultraviolet, rambut cepak basah keringat berbau apek, bibir kering pecah-pecah menghias pucat. Motor pak Terjo berhasil melaju mulus dengan lojakan tidak terkira disetiap ruasnya. Tidak main-main suara motor buntut pak Terjo memekakkakan rungu—mencipta polusi suara namun tetap saja tidak bisa menenggelamkan pikirannya yang melayang pada pagi hari itu. Bagaimana Mark dan Haechan tersambang dipintu kontrakannya atau kala ajakan Mark setelah meniti waktu berkisah padanya; perihal pria Ginseng yang teramat dirindu.

"Ayo Ja, ikut aku ke Korea. He need you."

Pagi itu Mahija bungkam diatas kursi lawas Mak Endah. Tidak ada jawab yang keluar dari bilah bibirnya pun tanya yang menyeruak. Hanya sakit yang terasa begitu menusuk, sesak terasa menghinggapi relungnya, rasanya seketika kakinya tidak terpijak diatas bentala. Mahija mengutuk pada dirinya yang hanya bisa bergeming; saat itu persis sama seperti waktu ibu masih menjejak bentala tua. Nyatanya Mahija masihlah pemuda pecundang yang tidak berdaya. Mark bilang Jaemin terbujur dengan berbagai selang disekujur tubuh, menompang hidup dengan tabung gas oksigen, maniknya tidak lagi menunjukkan cemerlangnya—ditutup rapat oleh kelopak yang berat untuk membuka. Jantung pemuda itu rusak; harus disanggah kini. Mahija hancur untuk kesekian kali. Mahija tidak ingin mendengar lebih lagi sebab dirinya sudah tidak kuasa merasa sakit namun bilah bibir Mark lancar berkisah padanya. Seolah tuli, buta pada pesakitan Mahija yang menggerogotinya—merampas warasnya.

Gronjalan pada jalan becek membuat Mahaija tersentak bersamaan pak Terjo yang berseru-seru memanggilnya dari depan. "Le, Mahija krungu ra?" suaranya keras terbawa angin, pak Terjo sedikit melengok di kaca spion hanya untuk memperhatikan Mahija yang tersesat dengan dirinya sendiri. Raut tuanya mengernyit heran, namun bungkam menjadi pilihannya. Lebih memilih menyambung tanya dengan topik yang lain. "Sakjane iki menopo se le neng rumah sakit setiap minggu iki?"

Beban menyimpan rahasia yang lalu sesungguhnya adalah derita paling pahit dan menyiksa. Mahija harus membungkusinya dengan gelak tawa yang tiba-tiba, melapisinya dengan kepalsuan. Dusta tersemat kendati perih harus ditahan. Maka dengan ringan Mahija menjawab, "Cek Kesehatan aja paklek. Buat jaga-jaga menawi mengko enek seng ra apik."

Anggukan menjadi imbalnya. Dari balik punggung tua pak Terjo; Mahija diam-diam menunduk, menatap pada jalan berlumpur yang digenangi air. Maurice Herzog—ingat betul Mahija pada penakluk Annapura itu; katanya, "Selalu ada Annapura-Annapura lain dalam kehidupan manusia." Kalimatnya kristalisasi dari perenungan sang panakluk, seorang pemenang. Pengertiannya meranjuk pada gunung-gunung menjulang yang bukan hanya dipandang monster raksasa. Dia adalah tujuan, mimpi-mimpi, cita-cita. Seringnya dia pula tangan-tangan dan cobaan hidup. Manusia akan selalu menaklukkan berbagai puncak-puncak gunung semasa masih bernafas, menjejak pada bentala yang berumur panjang. Mahija memang sampai pada negara yang menaunginya namun mustahil untuk menaklukkannya. Dirinya tidak sampai pada Annapura atau menyibak India. Dirinya hanya sampai pada kaki-kaki Everest yang maha menjulang—menginvasi hampir setengah isi bentala. Namun Mauric tidak berkata perilah menaklukkan puncak-puncak menjulang itu. Ini perihal akan misi penaklukkan pada Mahija yang tidak berdaya. Masih misi yang sama; menaklukkan romo.

Bumi Putra [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang