Seperti Peluk Yang Mengizinkan

25 5 2
                                    

Music Recommended:
Selaras – Kunto Aji, Nadin Amizah

Kita bisa selama masih ada rumah untuk pulang dan memulai segalanya

BumiPutra

Genta bukanlah sosok saudara yang baik. Jangankan Randjani Adiwilaga, Genta menyetujui pernyataan itu; mereka sepakat melabeli diri masing-masing sebagai pasangan saudara terburuk. Satu jam yang lalu Genta tersambang didepan camp KKN, masih dengan setelan urakannya dan apitan rokok dibilah bibirnya yang menghitam. Ada kontradiksi terhadap kehadiran wujud Genta disini. Selama hampir seperempat umur mereka berada diatap yang sama dengan asuhan yang sama Genta tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap serupa saudara sebagaimana mestinya. Genta terlampau acuh untuk seorang yang berbagi darah yang sama.

"Jadi alasan lu kesini kenapa?" Randjani mengawali, melontarkan sebaris pertanyaan sarkas. Seolah Randjani tidak mengharapkan kehadiran sosok yang pernah berbagi rahim dengannya itu menetap ditempat yang sama. Sejatinya itu benar adanya dan Genta mungkin mengetahui maksud kesarkasannya. Mereka terlalu alot untuk disatukan. Terlampau sukar untuk saling berbagi. "Seinget gue, gue gak ada buat hal yang buat lu mendatangi gue."

Bau tembakau menguar dari Genta. Dalam-dalam saudaranya itu menyesap gulungan tembakau dibibirnya. Memenuhi paru-paru dengan kokain yang candu sebelum menghembuskannya tepat diwajah Randjani. Menghantarkan pait tembakau menyengat penghindunya. Genta tidak menjawab. Masih berdiri besandar disisian mobilnya, menatap jalan kerikil dibawahnya; menikmati sisa-sisa kokain direlung raganya. Menciptakan hening diantara mereka, membiarkan tanya Randjani berenang-renang begitu saja. Genta adalah pencampuran dari asa yang pupus. Perangainya kasar sebab terbiasa akan pilu yang mendera. Ada luka yang tidak kunjung sembuh. Tentang ibu dan kata 'pulang'. Genta Abi Baskara adalah saksi mata dari rusaknya rumah mereka. Mencipta seorang Genta yang tidak tersentuh, sebab takut berulang; membuatnya memasang dinding menjulang untuk dirinya sendiri.

Gulungan tembakau ditanggalkannya, menjatuhkannya pada aspal yang tidak jenuhnya ditatapnya. Diinjaknya hingga padam baranya baru sebaris jawab terlontar. "Ayah nyuruh gue jemput lu." Randjani mengerutkan dahinya. Rambut gondrongnya disugarnya, diikatnya menjadi satu, lantas pandangannya dibawanya menatap lain. Ada sesak yang tiba-tiba menjalar. Ada kilas balik yang masuk cepat didalam ingatan. Tidak mengira 'ayah' terlontar dari mulut Genta. Sebab mereka adalah satu yang tidak bisa disatukan. "Gue gak bisa nolak Ran."

"Ibu, dia baik?" Randjani menghalau nafas berat, Kembali menatap Genta yang juga tengah menatapnya. Ada seulas senyum dibibir itu. Sebelum anggukan menjadi jawab. Beribu syukur dihanturkannya dalam benak Randjani setelahnya. "Jadi kenapa bokap nyuruh jemput gue?"

"Bokap nyuruh lu ngandle tamunya. Dia harus ke luar kota handle hotel disana. Ada problem."

Gulungan tembakau Kembali tersemat dibilah bibir Genta, membakar ujungnya dengan pematik, memulai Kembali menyesap kokain; mencipta tenang didalam dadanya. Randjani hanya mengedikkan bahu acuh sebelum masuk ke bangku penumpang disisi kanan kemudi. Genta membuang asap pelan-pelan setelah memenuhi paru-parunya dengan asap yang merambat cepat. Lantas masuk kedalam mobil dan melajukannya; keluar dari desa senyap diujung Gunungkidul. "Lu tahu, gue ketemu bang Mahija disini." Ucap Randjani ketika laju mobil Genta melewati bukit bintang. Randjani menatap lamat pada orang-orang diluar jendela; padat memenuhi bukit bintang—tengah menyambung rasa dan afeksi yang bergejolak. Randjani mendengus. "Gue jadi bertanya-tanya gimana kalo Yuda tahu abangnya melarikan diri sampai sini."

"Lu salah presepsi." Sambung Genta cepat. Tangannya mengetuk-ngetuk setir kemudi pelan, menyamai suara radio yang berputar lirih. "Dia diusir sama penjajah."

Bumi Putra [NOMIN]Where stories live. Discover now