Di Jalan Pulang Ini

53 13 5
                                    


Bagi pengembara pulang berarti penantian. Safarnama terakhir seorang pengelana yang terobsesi kata 'jauh' adalah pangkuan ibu dan punggung lebar seorang ayah. Karena sejauh-jauhnya mencari, rumah adalah titik nol-titik semua perjalanan.

Teruntuk Romo:
Romo, ini Mahija. Putra Romo.
Romo, putra panjenengan gak cuma Raga sama Yuda. Mahija juga putra Romo.

Meski Mahija tahu, Mahija lahir hanya karena iba.


Music Recommended:
Nadin Amizah-Hormat Kepada Angin

"Ingat, sejauh apapun kamu pergi ada satu sosok yang selalu menunggumu pulang."

BumiPutra

"Jaemin! Jaemin! Bangun!" Mahija dengan tergesa membangunkan Jaemin, menggoyang-goyangkan tubuhnya yang seperti kepompong. Ada rasa tidak enak ketika membangunkannya dipukul enam pagi tidak seperti biasanya mengingat seberapa cemasnya Jaemin semalam. Hari-hari biasanya, mungkin Mahija akan membangunkannya jam tiga pagi, menemaninya dalam Tahajjud. "Everest Jaemin!"

Jaemin langsung terloncat, cepat-cepat keluar dari selimut tebal, cepat-cepat memakai jaket berlapis, disambarnya kamera, langsung menghambur keluar dari tenda. Jaemin termanggu, puncak Everest sukses membuatnya kehilangan kata.

Puncak itu lancip, tertutup warna putih salju, berdiri gagah merangkul adik-adiknya yang juga berselimut salju. Laksamana gadis Tibet berkalung khata-selendang putih pembawa berkah, seperti itulah awan-awan yang melilit wajahnya malu-malu, perlahan tersikap menunjukkan kemahabesaraan yang menggelenggar. Everest bagai monster yang semakin terlihat semakin cantik.

Namanya masih begitu mistisnya, garis kurva yang tegas dan curam membuat terbayang bagaimana perjuangan para pendaki yang melintasinya. Mengapa mereka rela mati menyambung nyawa hanya untuk berada diats sana? Mahija merasa kecil, didaratan ini Mahija bukan apa-apa-hanya bagian kecil yang tidak sengaja bisa menjejak bumi, hanya tanah yang diberi nyawa, lalu rama mengapa kamu tidak bisa ditaklukkan sedang Everest bisa ditaklukkan ?

"Aku kira, aku akan pulang tanpa bisa melihatnya," Jaemin menyeletuk, matanya masih tertuju pada puncak Everest yang menjulang. Kameranya sudah dianggurkan semenit yang lalu, sepertinya sudah cukup mengambil kedahsyatan puncak Everest. "Sepertinya kita beruntung Jeno! Jarang bisa menyaksikan si bastard itu menampilkan wajahnya,"

Mahija lantas mengernyit, baru kali ini mendengar bagaimana Jaemin mengumpat. Sepertinya sebutan ini sudah layaknya lelucon diantara para pelancong. Tapi tetap saja, itu terdengar aneh keluar dari mulut Jaemin. "Aku bisa pulang sekarang dengan bahagia. Ini sudah lebih dari cukup."

Kira-kira dimana letak bahagia Mahija? Everest memang tidak diragukan lagi kemahabesarannya dan keindahannya hingga semua menjadikannya titik obsesi untuk bisa meruntuhkannya. Tapi Mahija hanya kemari ingin melihat seberapa dahsyatnya Everest hingga bisa disamakan oleh Romo. Mana tahu Mahija bahwa Everest ternyata telah ditaklukkan, sudah tersibak bagaimana puncak itu. Lantas Romo kapan meluluhkan kekerasan hatinya?

"Ini memang lebih dari cukup." Balas Mahija, membenarkan argumen Jaemin. Setidaknya Mahija juga merasakan hal yang sama pada bagian yang ini. Ini memang lebih dari cukup sebelum menemui hari-hari biasanya, lebih dari cukup sebelum kembali ke rumah, dan lebih dari cukup sebelum menghadapi kebencian rama.

Bumi Putra [NOMIN]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora