Genggaman Tangan Yang Masih Ada

26 5 5
                                    

Music Recommended:
Kembali Pulang – Suara Kayu, Feby Putri

Jaemin aku pulang. Jangan lama-lama tidurnya. 

BumiPutra

Bentala senja itu masih menangis, terisak-isak menenggelamkan warna jingga yang harusnya terpatri. Menyeru riak air sebelum melebur pada datarannya yang tidak terhingga. Pada Yogyakarta yang hari ini diselimuti hujan, pada kota istimewa yang terlihat kelabu. Perapian menyalak, melahap habis kayu yang berserah merubah diri menjadi arang, memanaskan tungku diatasnya yang telah mengepul namun tak lekas dipadamkan Mbok Tarni yang hanya menatapnya hampa diatas kursi rotannya yang rapuh termakan usia. Deru nafasnya tersekat-sekat, sedih tergambar pada manik berkerutnya yang lemah berkedip. Dalam peluknya ada figura tua, dilingkupinya erat-erat seolah figur itu terwujud nyata dalam dekapnya.

"Mbok, Mahija pamit ya. Mahija gak bisa janji bisa datengin mbok lagi."

Ah, anaknya yang malang. Begitu tutur batinnya berulang-ulang. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Wanita tua sepertinya. Senja tadi mungkin peluk Mahija terakhir yang bisa dirinya rasakan melingkupi raganya yang tua. Perginya sungguh Mbok Tarni harap Kembali juga. Seperti yang sudah-sudah sebab rindu melihat anaknya tersambang di pintu dapur. Berkisah akan hari-hari yang dilewatinya atau syair rindunya pada ibunya yang sungguh. Namun, sebaris pamit dari Mahija membuatnya mungkin akan merindu lebih dari sebelum-sebelumnya. Pada sosok Mahija, sang putra bumi.

"Mbok." Diantara deras derai hujan diluar sana, panggilan lemah itu mengalihkan perhatiannya dari kayu yang telah terlalap habis didalam tungku. Netra buramnya menangkap sosok Yuda diatas kursi rodanya, diambang pintu dengan air muka yang layu, terlihat begitu kontras dengan warna abu yang menggelayut. Mbok bangkit, dengan punggung yang bengkok, meraih kursi roda Yuda untuk didorongnya masuk kedalam. Yuda menunduk, menatap lekat pada tautan tangannya yang terkait erat. "Yuda minta maaf, mbok."

"Maaf menopo le?" suara mbok Tarni lemah kala berucap tanya pada sebaris pengampunan yang tiba-tiba saja Yuda suarakan ditengah priuk yang menuntut untuk segera diangkat bersanding derai yang semakin rapat mengguyur. Mbok Tarni menatap lekat pada Yuda menanti jawab, tapi Yuda tidak bergeming masih keukeuh merapatkan bilah bibir dan tundukan kepala. Pada semua hal yang terjadi, pada keputusan Mahija, dan pada perginya kali ini, Yuda menjadi satu-satunya wujud dirumah joglo romo yang paling merasa bersalah.

"Mbok, Mahija titip Yuda ya. Bilang pada adeknya Mahija itu kalo itu sama sekali bukan salahnya."

Mahija pergi tidak hanya pamitan, tidak lupa sosok itu akan perannya sebagai kakak. Pintanya sebelum pergi bukan hal-hal megah ataupun doa namun mohon agar adiknya dijaga. Baginya mungkin itu sudah termasuk hal yang begitu megah sebab Mahija mengulas senyum lebar ketika anggukan sebagai sanggupan menjadi jawab. Pelan tangan tuanya terangkat, merambat pada puncuk kepala Yuda, mengelus pelan surai yang menjuntai mulai memanjang. "Tidak perlu minta maaf. Yuda tidak salah." Tuturnya, tidak lagi menuntut jawab pada tanyanya yang sebelumnya. Bungkamnya Yuda lebih dari cukup membuat Mbok Tarni paham akan sesal yang didera pemuda itu.

"Tidak mbok, tidak. Yuda yang salah. Kak Mahija pergi dari rumahnya sendiri juga karena Yuda. Dari awal disini memang bukan tempat Yuda mbok." Senja kelam itu membawa tangis tak bersuara. Pada akhir yang nyatanya menyambut lara, bukan Bahagia yang diangan-angan. Pada pedih yang makin hari membuat Yuda terpuruk. Mbok Tarni telah hidup sepanjang romo diangkat menjadi sang Tuan Rumah keluarga darah biru ini. Dari dimulainya romo membawa ibu Mahija hingga hadirnya pemuda itu sampai dimana pelan-pelan semua menjadi tidak terkendali. "Semua ini punya kak Mahija mbok. Yuda Cuma numpang. Ngerusak keluarga kak Mahija. Jadi mbok, Yuda ingin ngembaliin semuanya. Kasi tau Yuda mbok dimana kak Mahija berada."

Bumi Putra [NOMIN]Where stories live. Discover now