Prolog

316 34 167
                                    

Riuh Istora yang menjadi tuan rumah ajang piala Thomas dan Uber telah hilang sepenuhnya pada tengah malam. Tiap raga yang memenuhi gedung olahraga di kompleks Gelora Bung Karno tersebut kini telah berada di lokasinya masing-masing. Sebagian besar mungkin sudah melepas penat sampai mendengkur keras dan mengusik burung hantu di dalam sangkar. Sebagian lagi mungkin masih terjaga, mengawali pagi buta dengan menyelesaikan tugas yang belum rampung ditemani kopi ketiga, atau ... terjaga karena pikiran yang kian berisik.

Babak final di kejuaraan beregu Piala Uber akan berlangsung beberapa jam lagi. Tim bulu tangkis putri Indonesia secara mengejutkan berhasil membuat Korea Selatan takluk di babak semifinal dengan skor 3-2, sehingga merah-putih pun melaju ke final dan menciptakan asa baru yang menggelora dalam dada. Kejuaraan yang melibatkan lima partai—tiga nomor tunggal dan dua nomor ganda putri—itu seolah ingin memberi peluang bagi Indonesia untuk mengalahkan juara bertahan dari negeri tirai bambu.

Kendati begitu, selalu ada pikiran buruk yang berisik untuk mengusir asa.

“Udah pada tidur?”

Kamar itu gelap. Tiga atlet wanita tidur berdampingan dalam satu ranjang ukuran king bed. Kalau saja lampu tidur di atas nakas tidak menyala, sudah pasti ketiganya hilang dalam kelamnya malam. Meli Wijaya, salah satu atlet tunggal putri yang menjadi penghuni kamar pun menoleh ke kiri, mendapati Kafa Ananta, tunggal putri yang barusan bertanya, tampak terpejam selagi mengatur napas. Ia gugup sampai meremas ujung selimut bagian atas dan meninggalkan bekas kusut.

“Belum.” Suara lain terdengar dari sisi paling kiri, berjarak satu tubuh dengan Kafa. Gadis bernama Riski itu memeluk erat guling di pelukan, sama sekali tidak mengantuk meski ranjang putih tempatnya berbaring begitu lembut dan empuk.

Mendengar itu, Meli pun meluruskan pandangan demi menatap langit-langit hotel yang redup. Ia menghela napas dan tersenyum paksa. Rupanya, bukan hanya ia yang dilanda kegugupan. Sebuah sikutan kecil menyentuh lengan gadis bermata bulat tersebut, menuntutnya untuk memberi respon alih-alih hanya menoleh.

“Belum, Kak. Perutku melilit karena tegang,” jawab Meli memegangi perutnya dan tersenyum kecut.

Ketiganya pun membuang napas bersamaan, menyadari bahwa mereka berada dalam satu masalah. Gelisah meraup hati dan pikiran. Waktu yang belum tiba menjadi ketakutan tak terpendam.

“Gue bisa buka pertandingan dengan hasil yang bagus, enggak, ya? Secara peringkat, gue ada di bawah lawan,” ucap Kafa lagi.

Meli memahami tiap kata tersebut dengan baik karena ia pun memikirkan hal yang sama. Degup jantung menjadi lebih cepat begitu pandangannya beralih pada tiga kaus olahraga yang sengaja ditaruh menutupi layar besar televisi, memperlihatkan bagian punggung bertuliskan nama-nama penghuni kamar tersebut.

R Dian, K Ananta, dan M Wijaya, sama seperti urutan posisi tidur mereka.

“Berat, ya, mikirinnya? Tapi kita udah melampaui target dan sampai di final, Fa. Itu tandanya kemampuan kita enggak sejelek yang kita pikirin. Secara peringkat, kita—bukan lo doang, yaaa—emang di bawah mereka. Tapi bukan berarti kita langsung kalah, kan? Enggak apa. Coba semaksimal kita dulu,” ucap Riski. Unggulan kedua dari sektor tunggal putri Indonesia itu mengangkat dua kepalan tangannya di udara agar mereka tidak larut dalam khawatir yang kian sombong menguasai diri. “Ih, semangat, dong, Guys!”

“Gue suka semangat lo, Ki!” sahut Kafa.

Sementara Meli mengulang ucapan Riski dalam benak. Sebagai unggulan ketiga, posisinya tidak lebih menguntungkan dibanding Kafa dan Riski yang menjadi unggulan satu dan dua. Penempatannya di partai kelima justru menjadi kekuatan terakhir yang menentukan pemenang apabila grup berada di posisi imbang 2-2.

20-20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang