2. Rumah Mbah

122 8 26
                                    

🏸 D+10🏸

Oke. Cukup.”

Meli menghela napas usai suara tegas itu terdengar oleh rungunya. Ia jatuhkan tubuh pada sofa panjang berwarna abu-abu di ruang tamu, berbaring dan memejamkan mata, mengabaikan langit-langit bersih rumahnya. Bulir keringat membasahi helai rambut yang terlepas dari ikatan kendur di kepala.

Terapi hari ini berjalan cukup baik. Dimulai dengan latihan yang dilakukan sambil berbaring di kasur seperti mengangkat kaki yang cedera ke atas, menekuknya sesuai dengan kemampuan, membukanya ke samping, dan menutupnya kembali. Selanjutnya adalah latihan berjalan dengan bantuan kruk dan brace lutut⁷ di area ruang tamu.

“Sakit?” tanya Bibi Sarah di sofa lainnya yang lebih kecil mengenai latihan tadi. Wanita itu sengaja memberikan pertanyaan retoris.

“Ya iya, lah!” Bukan Meli yang menjawab pertanyaan tersebut, melainkan Dika yang sejak tadi duduk di lantai sembari mamantau Meli seperti orang tua menunggu anak balitanya yang baru bisa berjalan. “Pelan-pelan aja, sih, Lik,” katanya pada sang bibi.

Sarah memelototi kakak Meli tersebut. Sebuah botol kosong pada meja di hadapannya pun dilempar ke arah Dika tanpa ragu. “Jangan lebay. Tadi juga Bulik pelan-pelan dan sesuai peraturan, tapi karena adikmu ini udah dua hari mogok latihan, jadi ototnya agak kaku lagi.”

Dika menangkis botol itu dengan tangannya, gerakan refleks ala pemain bulu tangkis yang memukul kok. Dipelototi begitu, ia pun menyerah. “Oke.”

“Kamu sebenernya masih mau main atau enggak, sih, Mel?” tanya Sarah serius pada keponakan perempuannya yang menutupi mata dengan punggung tangan kanan. “Seenggaknya jangan nyiksa diri kamu, enggak baik. Kalau enggak dipantau Bulik terus jadi males latihan, nanti bisa nambah cedera lain. Mau?”

Meli ingin sekali membantah bahwa ia malas untuk latihan. Ia hanya takut. Setiap kali terapi dimulai, rekam kejadian yang membuatnya trauma kembali terputar. Bunyi letupan di lutut yang disusul dengan rasa sakit luar biasa, Istora yang mendadak seperti kehilangan ruhnya, raut khawatir dari semua orang—semua masih tergambar jelas. Selain itu, ia benci karena tidak bisa menepati janjinya pada sang pelatih, keluarga, teman-teman yang memberinya keyakinan sebelum turun ke lapangan, dan juga Indonesia. Jika bisa sembuh, ia pun tidak yakin bisa berani berdiri di lapangan tanpa gemetar hebat.

Sepasang telapak tangan Sarah menggenggam telapak tangan kirinya dengan lembut dan erat. Seolah mengerti pikiran Meli, bibinya itu berucap serius, “Mel, enggak perlu takut. Bulik bakal bantuin kamu ambil mimpi, oke? Tapi kalo kamunya enggak semangat, ya percuma.”

Dika memperhatikan dua perempuan hebat di hadapannya dalam diam. Ia beralih menatap sang adik yang jelas mendengar semua ucapan Sarah. Dada adiknya itu tampak naik-turun dengan cepat seirama dengan keluar-masuknya oksigen dari rongga hidung. Bagian kaki Meli yang masih sedikit bengkak dan juga bekas jahitan operasi di bagian lutut yang sedang tidak diperban terlihat begitu jelas, membuat hati sang kakak bagai diiris sembilu.

****

“Kamu enggak diomelin kalo makannya banyak banget begitu?”

Tengah hari telah tiba ketika agenda makan siang hampir selesai. Ibu Wijaya yang telah kembali dari pasar dua jam lalu bukannya tidak tahu jika anak sulungnya punya perut seperti gentong. Ia hanya khawatir putranya itu besok akan terlambat latihan rutin di asrama karena masalah pencernaan. Terlebih, seminggu lagi ada pertandingan di Odense.

Meli juga menatap kakaknya dengan ekspresi datar, dibalas senyuman tanpa dosa oleh Dika. Anak itu paham betul jika sang kakak senang sekali bisa makan sepuasnya tanpa ada aturan tentang gizi ini-itu dan takarannya dalam sehari. Melihatnya makan banyak membuat Meli kenyang sebelum nasi di piringnya tandas.

20-20Where stories live. Discover now