1. Buntalan Mimpi yang Hancur

220 17 98
                                    

Dalam hidup, sudah berapa kali kamu mengalami kegagalan? Lalu, bagaimana caranya untuk bangkit?
°°°

🏸D+10 🏸
Setelah Operasi

Dinding krem mencetak bayang dedaunan milik pohon anggur yang menjalar di pergola pekarangan rumah keluarga Wijaya, tampak menari seiring dengan embusan angin pukul sembilan pagi. Sinar mentari membidik masuk lewat dua jendela yang terbuka, memperjelas kosen yang dilapisi debu halus milik ibu kota. Kain basah yang dilipat seukuran telapak tangan menghapus debu tersebut, bolak-balik tak sampai sepuluh detik. Bersamaan dengan gerakan usap penuh tekanan pada kerangka kayu itu, terdengar aksen Jawa yang memecah hening.

Mbok yo dibersihin kamarnya gitu, loh, Mel. Anginnya bawa debu, nih. Ruangan kotor bikin mindset-mu makin jelek.”

Mengganti sisi kain yang kotor dengan sisi yang bersih, pemilik suara tersebut bergeser ke kanan jendela untuk mengelap meja belajar. Debu tidak terlalu tebal di sana, tetapi tidak baik juga jika hanya didiamkan sampai bisa dibuntal.

Sekitarnya pun tampak berantakan; baju yang terjatuh ke lantai dari koper yang terbuka, tempat sampah yang dipenuhi medali serta tiga buah raket, juga beberapa sepatu yang disumpal ke dalam rak buku. Wanita paruh baya beraksen Jawa tadi bergerak gesit, menyulap kamar bernuansa krem-cokelat tersebut supaya lebih layak huni.

“Kamu enggak ada kuota internet, ya? Pelatih, temen-temen, sampai masmu itu nelponnya ke Ibu sama Bapak terus, loh,” katanya.

Dialog yang diharap masih menjadi monolog. Teman bicara sekaligus pemilik kamar masih berbaring di ranjang seraya menutupi wajah dengan kain sarung milik sang ayah—sarung kotak-kotak yang telah pudar dan selalu ia bawa ke mana pun sejak duduk di taman kanak-kanak—seolah enggan menerima cahaya pagi.

“Mel ....”

Ibu Wijaya—wanita paruh baya tadi—menghampiri putri bungsunya dan duduk di pinggir ranjang. “Kamu maunya gimana? Diajak makan, susah. Ngobrol, enggak mau. Nonton pertandingan, nangis. Ibu bingung, loh, Mel ....”

Nyonya Wijaya berkata selembut mungkin meski emosinya sedang tak stabil. Segala hal telah dicoba agar Meli kembali menebar senyum seperti dulu. Namun, selalu dibalas dengan garis bibir yang tertarik ke bawah, suara yang ditinggikan, atau hanya ekspresi datar. Meski begitu, ibu dua anak itu berupaya menahan diri agar tidak terlihat kacau di hadapan putrinya yang sedang runtuh.

“Mau jus alpukat? Nanti Ibu beli buahnya di pasar, ya. Sekalian belanja buat masak besok. Kamu sarapan dulu sana, habis itu latihan.”

Kali ini tak perlu jawaban. Ibu Wijaya menutup pintu kamar Meli dan bersiap. Sebelum pergi, ia sempatkan duduk di meja makan untuk meneguk air hangat dalam gelas, lalu mengusap wajah dengan dua telapak tangannya yang kasar.

Ya. Hati ibu mana yang tidak hancur saat melihat buah hatinya kehilangan mimpi?

Sementara itu, Meli mengubah posisi menghadap langit-langit usai pintu kamarnya tertutup. Waktu berlalu begitu cepat sejak bulu tangkis hadir dalam hidupannya. Kasur tingkat yang dulu ditempati bersama sang kakak kini berganti dengan kasur lantai berukuran 2x1 meter. Poster-poster pengenalan angka dan huruf yang dulu tertempel di dinding kini tergantikan oleh foto prestasi maupun penghargaan. Hadir pula potret keluarga pada lebaran tahun lalu, saat kedua kaki Meli masih bisa menendang tulang kering sang kakak dengan kuat setiap kali ia dijodoh-jodohkan dengan tetangganya.

Meli kedipkan mata sembabnya berulang kali. Wajah bungsu itu pucat. Air mata gadis berkulit putih, bermata bulat, dan bersurai hitam gelombang sebahu tersebut telah habis mengering. Namun, rasa lelah masih melingkupi kedua netra pebulu tangkis yang mengalami cedera lutut di ajang Thomas Uber Cup beberapa waktu lalu tersebut. Dari hasil pemeriksaan, ligamen lulut anterior—jaringan seperti tali yang menyambungkan tulang paha bawah dan tulang kering agar tidak bergeser dan tetap stabil—Meli dinyatakan sobek, sehingga kaki kirinya itu tidak bisa menopang tubuh dengan baik. Operasi telah dilakukan dengan mencangkok jaringan lain dari tubuhnya sepuluh hari yang lalu dan butuh waktu berbulan-bulan agar jaringan tersebut bisa kuat menggantikan ligamen yang sobek.

20-20Where stories live. Discover now