6. Jaga Asa

72 6 19
                                    

🏸H+20🏸

“Oke, cukup istirahatnya. Sekarang latihan jalan di luar, Mel,” ucap Sarah usai membimbing Meli berlatih di ruang tamu. Hari ini ia mengenakan kaus putih di bawah hoodie hitam yang terlihat pas di tubuh serta legging panjang. Rambut panjang bergelombangnya diikat tinggi tanpa poni. Kedua tangan wanita itu berkacak di pinggang.

“Perlu pakai sandal?” tanya Meli yang mengenakan kaus hitam dan jogger abu, bersandar pada dinding dingin di bawah jendela.

Sarah mengambil gelas kosong diujung matras, hampir tersenggol kaki sang keponakan yang duduk meluruskan kaki di atas matras kecil berwarna merah. Setelah mengamankan gelas tersebut ke atas meja bulat di dekat keduanya, ia menjawab pertanyaan si bungsu dengan yakin, “Pakai, dong. Khawatir banyak kerikil di lapangan.”

Mendengar itu, Meli pun mengangguk sembari membenarkan ikatan rambutnya. Dalam hati, ia sedikit menyesal karena tidak membawa tali rambut lain sebagai ganti dari tali rambutnya yang sudah kendur itu. Diputarnya scrunchie hitam tersebut lima kali sampai rambutnya terikat cukup kencang, lalu Meli ambil kruk yang digeletakkan di lantai sebelum berdiri. “Oke,” jawabnya seraya mengenakan sandal.

Bunyi tuk terdengar berulang kali saat kruk menyentuh lantai tegel abu-abu rumah Mbah Susi. Tongkat kayu itu berayun maju menopang sebagian berat tubuh Meli untuk berjalan. Pintu luar yang terbuka mengundang berkas sinar untuk memasuki ruang tamu. Dengan kondisi kaki kiri yang perlahan membaik berkat rutinitas latihan, gadis itu berhasil mencapai teras.

Pokoknya enggak boleh nyerah, pikirnya.

Hari ini cuaca tampak cerah. Musik alam dari dedaunan yang saling bergesekan di ranting pohon menyapa perempuan itu sesampainya di teras rumah. Di lapangan bulu tangkis yang kosong dari pertandingan, tampak Cahyo dan Lala sibuk menyusun lima kerucut oren kecil di tengah lapangan.

Pada daun pintu, Sarah menyandarkan tubuh dan melipat tangan di depan dada. Sambil menatap punggung Meli, senyumnya mengembang sebab asa si bungsu Wijaya itu perlahan mulai muncul. Sarah yakin kemenakannya tersebut tidak akan menyerah karena ia tahu betul bagaimana sifat Meli sejak awal mencoba masuk klub bulu tangkis. Kalau semuanya berupa luka fisik, atlet itu pasti sudah terlihat babak belur di sekujur tubuh. Tetapi meski sudah babak belur, ia pun tetap akan mencoba kembali.

“Aku latihan sendiri aja, ya, Lik?” tanya Meli tiba-tiba, berbalik pada Sarah.

Sarah menegakkan tubuhnya karena terkejut. “Eh, kenapa?”

Senyum kecut menjadi balasan atas pertanyaan Sarah. Tanpa suara, Meli berkata. “Malu. Aku lebih nyaman kalo sendiri.”

“Enggak boleh!” seru Sarah sampai membuat dua Setiawan di lapangan menoleh, lalu kembali pada volume normal. “Perlu pendampingan. Oke? Enggak ada penolakan. Cahyo bakal bantu kamu main bulu tangkis lagi.”

“Lik ....” Meli merajuk.

“Mel, semuanya demi kebaikan kamu. Jaga komunikasi sama semua orang, ya. Termasuk pelatih dan pengurus lainnya. Kamu tahu, kan, attitude juga dinilai? Kalau mau bertahan, enggak boleh begini. Lagian ... emang enggak bosen kalo latihannya sama Bulik terus?”

Bantalan kruk di sisi telapak tangan diremas oleh Meli. Ia menggigit bibir bawah seraya memikirkan ucapan sang bibi. Agaknya, bosan lebih baik daripada harus berjumpa orang baru.

“Mbak Meli.”

Tiba-tiba seseorang meraih kelingkingnya. Terlihat Lala menyunggingkan senyum unjuk gigi sampai menimbulkan lekuk kecil di pipi. Meli pikir adik Cahyo itu akan ikut meyakinkannya seperti Bibi Sarah. Namun, Setiawan bungsu berkaus kuning cerah itu malah menunjuk kaki lawan bicaranya. “Sandal Mbak terbalik.”

20-20Where stories live. Discover now