12. Yang Patah Tumbuh

40 5 4
                                    

🏸H+39🏸
(Sebulan setelah operasi, tiga minggu di Purworejo)

Cuaca benar-benar bagus hari ini. Di tepi lapangan hangat rumah Mbah Susi, Cahyo dan Sarah duduk bersisian. Di tengah-tengah mereka terdapat toples transparan berisi roti bagelen. Bunyi renyah terdengar manakala roti itu terkunyah di dalam mulut si pelaku utama penyebab toples kehilangan separuh isinya. Jika Sarah tidak salah hitung, remaja di sebelahnya telah menghabiskan sepuluh potong roti kering itu. Sarah sendiri baru makan dua potong.

Sebelum habis, ia pindahkan dengan cepat toples berharga tersebut ke samping kanan tubuhnya. Sarah balas raut kecewa Cahyo dengan melotot. “Buat Meli. Kamu, kan, udah sering makan beginian,” ucapnya galak.

Rasa manis dan tekstur renyah roti khas Purworejo tersebut memang membuat candu. Cahyo yang sudah sering melahapnya pun tidak pernah bosan. Namun, ia tidak bisa protes kalau sudah begini. Masih ditatap dengan raut galak, ujung mata Setiawan muda itu melirik Bibi Sarah sementara bibirnya mencebik. Pasrah, ia pun meneguk air dari botol minum guna membersihkan mulut dari sisa remahan roti. Begitu bagelen benar-benar hilang dari mulutnya, lelaki itu pun bangun dan menghampiri Meli yang tengah berjalan seperti robot di tengah lapangan, lantas menirunya.

Angkat kaki kanan, angkat tangan kiri. Angkat kaki kiri, angkat tangan kanan. Meli yang tengah melatih kekuatan otot lututnya dengan berjalan kaku itu mendongak ke samping, tepatnya pada sosok lelaki yang entah mengapa tertarik untuk bergabung, tanpa menghentikan gerakan.

“Habis diomelin, ya?” tanya gadis berkaus putih dan celana hijau muda tersebut, menebak Cahyo yang ternyata segera mengangguk polos.

Lelaki manis di samping Meli itu menurunkan pandangan guna menatapnya yang lebih pendek. “Emang kamu suka bagelen?”

Meli mengangguk. “Suka. Aku selalu request itu ke Bude Jum kalau pulang ke sini.”

Jawaban itu menerbitkan lekuk senyum di wajah Cahyo. Lelaki berkaus hijau muda dan celana pendek hitam tersebut pun mendadak kepo. “Selain itu, suka apa lagi?”

Tak disangka, pertanyaan Cahyo ditanggapi serius oleh lawan bicaranya. Sambil terus bergantian menekuk lutut ke atas dan melangkah maju, Meli tampak berpikir sebelum menjawab banyak, “Es krim, bulu tangkis, pemandangan hijau, sambal, drama Korea, tempe tepung, kucing, langit sebelum matahari muncul, lalu ....”

“Aku?” tanya Cahyo jahil, untungnya teredam oleh deru motor di bawah sana.

Meli mengedipkan mata dan tampak bingung. “Apa?”

“Hai, anak-anak muda! Pada ngomongin Bulik, ya? Sini, udah cukup gosipnya!”

Suara lantang Bulik yang sudah berdiri di tepi lapangan sambil berkacak pinggang membuat keduanya melirik satu sama lain. Cahyo pun melangkah lebih dulu dengan senyum mengembang.

Namun, tiba-tiba kaus belakangnya ditarik. Meli mencubit kaus lelaki tersebut. “Tadi ngomong apa?” tanya gadis itu masih membahas ucapan Cahyo yang tidak terdengar jelas. Matanya yang bulat ikut menuntut jawaban. “Madu? Enggak, aku enggak suka. Rasanya terlalu manis.”

Karena jawaban itu lah Cahyo tertawa. Kalau Lala yang menjawab begitu, sudah pasti ia akan mengusak rambut sang adik karena gemas. Saat Meli yang sudah lancar berjalan berhasil menyejajarkan langkah di sampingnya, Cahyo berkata sambil menghitung dengan jari tangan, “Oke. Suka bagelen, es krim, bulu tangkis, pemandangan hijau, drama Korea, tempe tepung, dan langit fajar. Enggak suka madu.”

“Wah!” Ketepatan itu membuat Meli kagum hingga tertinggal di belakang. Ia takjub sekali karena teman yang lebih tua satu tahun darinya itu bisa mengingat secara rinci apa yang ia ucapkan. “Wow,” gumamnya pelan, lalu pergi menyusul.

20-20Where stories live. Discover now