4. Percakapan di Dapur

99 6 7
                                    

🏸D+19🏸

Dipan bambu berderit begitu Meli gerakkan tubuhnya di atas sebuah kasur kapuk yang menjadi alas tidur. Kedua tangan gadis itu merenggang ke atas sementara matanya masih terpejam. Jam dinding yang biasa dijadikan tempat persembunyian cicak menunjukkan pukul tujuh pagi.

Gadis itu menaikkan selimut sampai ke atas hidung, menyembunyikan diri dari dinginnya suhu udara. Jaket, sarung, serta selimut yang dikenakan agaknya kurang ampuh menghangatkan tubuh. Dengan cuaca seperti itu, kembali tidur rasanya menjadi kegiatan yang paling mendukung. Namun, ketukan pintu yang datang membuatnya gagal kembali terlelap.

Suara sang ibu di balik pintu kayu pun terdengar ramah. “Udah bangun belum, Mel? Inget, kan, Bapak sama Ibu mau pulang jam berapa?”

Hm?” gumam Meli yang masih setengah sadar. Sambil mengingat-ingat, ia ambil posisi duduk. Suara ibunya terhenti di sana, mungkin karena sudah pergi ke dapur.

Masih di atas ranjang, Wijaya bungsu tersebut pun memutuskan untuk membuka jendela kayu di tembok sebelah kirinya. Saat itu, sinar pagi pun langsung menerangi kamar. Di kejauhan, terlihat sebuah gunung berbentuk condong, paling menonjol di antara perbukitan hijau yang terhampar. Udara segar dan dingin semakin menyapa kulit, memunculkan rona kemerahan di kedua pipi dan hidung.

Sebuah kenangan mendadak muncul di benak Meli. Memastikan kejadian yang sama dengan tujuh tahun lalu—dan sebelumnya—kembali terjadi, ia pun membuka mulut untuk menghela napas. Saat itu asap tipis keluar dari mulutnya sehingga senyum puas pun tersungging di wajah atlet tersebut.

Kayak di luar negeri.

Ia rapikan tatanan rambut kepala yang telah sepanjang bahu dengan jemari, kemudian mengikatnya dengan model ekor kuda. Gadis itu melirik ke arah raket yang berada di paku pintu tanpa ada minat untuk menggunakannya dalam waktu dekat. Setelah selesai merapikan rambut, kaki kanannya bergerak turun dan menggantung di sisi ranjang, disusul kaki kiri yang diturunkan dengan hati-hati. Kruk di samping kasur dapat diambil dengan mudah. Gadis berjaket putih itu pun berdiri dengan tumpuan beban pada kruk di kedua sisi tubuh dan kaki kanannya. Dua kaki telanjangnya dimasukkan ke dalam sandal jepit yang entah milik siapa.

Ah, sekarang ia ingat. Orang tuanya hanya akan menginap satu hari karena sang ayah perlu mengurus kembali pekerjaan. Pukul sembilan nanti mereka akan berangkat pulang.

Pintu kayu dibuka oleh cucu bungsu Mbah Susi tersebut. Ia berjalan menuju dapur yang berpenghuni. Di sana ada Sarah dan Jum, saudara perempuan sang ayah, sibuk mengobrol sambil tertawa. Melihat keponakan mereka datang, Bude Jum yang sedang memasukkan pelepah pohon kelapa ke dalam tungku langsung menawari Meli untuk bergabung.

“Sini, Nduk. Biar anget.”

Dapur memang merupakan tempat paling hangat di rumah ini. Dengan tungku yang menyala, siapa pun bisa duduk tak jauh darinya sambil membuka kedua telapak tangan yang kemudian ditempelkan pada kedua pipi setelah hangat. Mungkin karena alasan ini lah sang nenek enggan merenovasi dapur dan rumahnya agar lebih modern. Selagi di rumah masih ada bahan bakar, kompor tungku lebih digemari untuk digunakan ketimbang kompor gas yang dimiliki Nenek. Lagipula, ada banyak kenangan yang telah tercipta dari gaya tradisional itu.

Meli mengganti alas kaki dengan sandal dapur yang lebih lusuh dan menghampiri kedua bibinya. Penggunaan sandal berbeda berfungsi agar pasir yang menjadi lantai dapur tidak terbawa ke ruangan lain. Karena lututnya belum bisa melakukan gerakan berjongkok, maka ia pun duduk di atas sebuah kursi plastik tanpa sandaran setinggi lima puluh sentimeter, di samping Bude Jum yang hari ini mengenakan daster bunga matahari dengan panjang di bawah lutut dan dibalut sweater hitam.

20-20Where stories live. Discover now