8. Malam Gaduh

65 6 8
                                    

🏸H+20🏸

Setelah menempuh waktu lima belas menit, motor manual butut yang ditumpangi Cahyo akhirnya masuk ke dalam teras rumah. Sekarung beras yang sebelumnya menjadi penumpang telah diturunkan di rumah Mbah Winanto, dekat kantor kelurahan. Si pengendara yang baru saja turun dari motor kini sibuk menatap jalan raya di bawah sana, menarik napas guna memenuhi rongga dada dengan oksigen bersih, lalu membuangnya dengan lega. Tidak pernah bosan ia tatap jalan berkelok yang tak seramai dan selebar jalan di kota itu—kira-kira hanya muat untuk dua mobil. Tiap ada kendaraan bermotor yang lewat, suaranya bisa terdengar sampai ke dua tingkat alas di atas rumah peninggalan kakek-nenek Setiawan. Kendaraan yang melintas itu terkadang berbelok dan naik ke halaman rumah mereka. Para pengendara yang notabene warga sekitar membeli berbagai kebutuhan pokok di sana dengan alasan jarak yang lebih dekat dari pasar, harga yang standar, dan juga ketersediaan barang yang cukup lengkap.

“Awas kesambet.”

Rambut-rambut sapu yang kaku menyentuh mata kaki Cahyo, membuatnya melompat karena terkejut akan sentuhan tersebut. Sosok sang adik yang tengah menyapu pun terlihat begitu ia memutar tubuh. Tanpa merasa bersalah, gadis dengan rambut cepol asal yang baru saja menegurnya itu terus membersihkan lantai teras tanpa menghindari posisi sang kakak.

Wis podo aku karo sampah,²⁹” ucap Cahyo pura-pura mengelap air mata dengan lengan baju, lalu bergeser ke dekat tembok. Melihat adiknya bersih-bersih begitu, ia bertanya, “Udah ngerjain tugas sekolah?”

Bengi wae³⁰, nunggu Royo selesai pake laptop,” balas Lala, menyinggung nama sepupu yang rumahnya berada di belakang milik mereka. Mengenai laptop, keluarga mereka memang tidak memilikinya, sehingga harus meminjam milik sang sepupu. Hal yang sama juga dilakukan Cahyo setahun lalu sebelum lulus dari bangku putih abu-abu.

Lelaki itu bersandar dan menekuk satu kaki ke arah tembok. Pikirannya melambung jauh pada lomba bulu tangkis yang diselenggarakan oleh kelurahan. Jika bisa keluar sebagai juara, ia bisa membelikan sebuah netbook untuk sang adik.

“Bikin makalah?” tanya Cahyo.

Yups,” jawab Lala. Dengan kesal, ia tarik tangan sang kakak supaya lelaki itu masuk ke dalam rumah. “Udah, ih. Sana cuci tangan, kaki, ganti baju, terus makan, Mas. Biar enggak mambu³¹ orang jelek.”

Yang dibilang jelek tidak terima. “Eh, enak aja. Aku ki guanteng pol. Podo karo Nicholas Saputro.³²”

“Saputro, Saputro. Kenal juga enggak.” Sang adik memukul bokong Cahyo dengan gagang sapu, berupaya menyadarkan lelaki itu dari khayalan di sisa siang.

Namun alih-alih marah, tawa kakaknya itu malah terdengar sembari kabur ke dalam rumah. Cahyo cuci tangan dan kakinya, lalu pergi ke kamar tidur guna mengganti kaus yang telah basah oleh keringat dengan kaus abu-abu bersih di dalam lemari. Perut kosong menuntun langkahnya pergi ke dapur. Ikan-ikan kembung krispi di bawah tudung makanan berhasil menggoda iman. Pada hari yang cerah itu, Setiawan sulung pun memadukan sepiring nasi panas dengan seekor ikan kembung goreng dan dua sendok makan sambal terasi sebagai menu makan siang.

“Bu, udah makan?” Ia buka gorden kamar sang ibu, menyempatkan diri untuk menyapa wanita berkursi roda yang tengah merajut di dekat jendela itu dengan senyum manis yang diturunkan dari sang ayah. Piring berisi makanan ia angkat sebagai tanda menawarkan.

“Kamu duluan aja, Yo. Nanti Ibu nyusul. Sebentar lagi selesai, nih,” jawab wanita kepala empat itu. Meski mulai ditumbuhi beberapa rambut putih, ia masih tampak cantik dengan rambut lurus sebahu yang diikat sebagian. Bekas luka berwarna cokelat di bawah mata kirinya pun tak sanggup menghilangkan aura cantik keibuan milik Nyonya Setiawan.

20-20Where stories live. Discover now