10. Gara-gara Mantan Paman

67 5 4
                                    

🏸Kilas Balik, H+1 Pasca Operasi🏸

“Lo emang gila, ya, Sar.”

Sarah membuka loker miliknya. Ia keluarkan sepasang sandal kodok hijau lumut dan sebuah tas ransel hitam dari sana, kemudian memasukkan sneakers yang seharian ini dikenakan ke dalam loker tersebut. Sementara itu, seorang pria bermodel rambut side bangs yang menyebut Sarah gila bersandar di loker sebelah sambil menyilangkan tangan di depan dada, memperhatikan rekannya yang bersikap bodoh amat setelah membuat meja rapat penuh ketegangan.

“Baru tau?” respon Sarah sambil mengenakan sandal kodok. Ia berjongkok dan memperhatikan insole sandalnya yang sudah tipis.

Gemas dengan sikap wanita tersebut, pria berambut side bangs pun ikut berjongkok di hadapan rekannya itu. “Maksud gue, lo itu ketua tim fisio. Gue enggak ngebela apa kata mantan suami lo di depan Bu Ketua tadi, tapi jadwal tur emang lagi padat banget, Sar.”

“Fisioterapis bukan gue doang, Ndra. Lo punya banyak bantuan. Tim medis dan dokter juga ada,” jawab Sarah. Agak kesal, wanita itu membanting sandal kodok bagian kiri yang sejak tadi ia perhatikan ke lantai. “Ck. Kayaknya harus beli sendal baru.”

“Lo bisa dipecat karena melanggar aturan.”

Sarah membenamkan wajah pada kedua lututnya yang tertekuk. Rambut panjang wanita itu berjatuhan ke depan. Oh, ayolah. Jangan ajak ia berdebat lagi. Sarah sudah lelah menanggapi orang-orang bertopeng di ruang rapat beberapa saat yang lalu.

“Andra, jangan jadi nyebelin kayak mereka, ya,” pinta Sarah pada rekan kerja terdekatnya. Ia berdiri dan menutup pintu loker dengan cukup kasar, lantas menunduk guna menatap pasang netra milik pria yang masih berjongkok itu. “Lo denger, kan, psikolog bilang trauma Meli cukup parah sampai dia perlu menjauh dulu dari sini? Dia mati-matian bantu kita ke final di Uber kemarin, Ndra. Dia juga ponakan gue dan masih di usia emas. Penyembuhannya harus maksimal, tapi apa kata si kompor ke Ibu Ketua kita: Masih ada anak-anak unggulan dan non unggulan yang fisik dan mentalnya sehat, potensinya besar, perlu dipantau terus-menerus secara serius. Fokus ke sana aja. Kita punya target. Sementara itu, enggak ada yang serius tentang pengobatan Meli, padahal dia tim nasional juga. Oke, akhirnya mereka kasih gue kesempatan, tapi kalo gagal bawa Meli rebut piala, sanksi terberatnya bakal dipecat? Enggak masuk akal sebenarnya—Jaka Sembung bawa golok. Tapi terserah, deh. Emang gila dia. Kalo mau gue keluar, harusnya enggak usah bawa-bawa Meli, dong.”

Andra berdiri dan menghela napas. Ia anggukkan kepala sambil memejamkan mata, kemudian berkata, “Koreksi dikit. Gue rasa, kalian berdua gila—lo dan si kompor itu,” katanya. Jujur, ia kesal dengan keputusan Sarah yang agak gegabah. “Emang enggak ada cara lain yang lebih baik, Sar?”

“Saat ini enggak ada. Dia penjilat handal dan omongannya manis ke semua orang, Ndra, terutama ke atasan. Mungkin sekarang targetnya Bu Ketua. Butuh waktu buat ngelawan orang yang punya kuasa, kecuali lo punya ide super super brilian yang bisa jadi boomerang buat mereka,” jawab Sarah. “Gue enggak rela Meli diusilin sama mantan pamannya sendiri cuma gara-gara masih enggak terima sama urusan pribadi di masa lalu. Yang harusnya jatuh dan pergi itu si mantan paman, bukan Meli. Duh. No more debate, Ndra. Gue capek. Pulang nanti kayaknya bakal langsung tidur.”

Andra tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui wanita di hadapannya. Di balik resah, rasa takjub membuatnya tertawa dan bertepuk tangan pada Sarah. “Oke, oke. Gue paham, Sar. Tapi ingat, dia mantan suami lo. Jangan sembarangan sebut gila, nanti ketahuan,” ungkapnya, membuat Sarah berpura-pura muntah. Mata sabitnya pun terlihat karena reaksi lucu wanita itu.

20-20Where stories live. Discover now