14. Hujan di Minggu Terakhir

36 4 0
                                    

🏸H+42🏸

Tadinya, setelah pemanasan selesai, Meli berencana untuk menuruni tangga alas yang memisahkan rumah Mbah Susi dengan rumah keluarga Setiawan. Gadis itu sudah sampai di ujung tangga teratas. Namun, setitik air langit jatuh menimpa kelopak mata ketika ia mendongak, sontak membuatnya terpejam kala sentuhan dingin itu mendarat di sana. Kaus mustard-nya jadi punya motif polkadot. Seraya melirik sang bibi yang mengerutkan kening pada langit, ia pun bertanya, “Gimana? Aku jadi latihan enggak?”

Sarah berkacak pinggang dan tampak berpikir. Ia hadapkan telapak tangan kanannya ke atas; memeriksa seberapa sering gerimis mendarat di sana. Tidak butuh waktu lama, wanita berkaus belang hitam-putih itu memutuskan, “Jadi, Mel. Yang penting turunnya dulu. Kalau tiba-tiba hujan pas mau naik, ya, kita izin neduh di rumah Cahyo.”

Maka, sepasang kaki Sarah yang berbalut sandal jepit hitam melangkah lebih dulu, sementara Meli menyusul kemudian. Tangga yang mereka pijak cukup untuk dilalui dua orang sehingga mereka pun dapat bersisian. Berbeda dengan tangga untuk menuju alas di atas rumah Mbah Susi yang masih bebatuan acak, tangga itu terbuat dari bebatuan yang telah dirapikan sedemikian rupa supaya kuat dan tidak mudah hancur karena longsor.

“Gimana?” tanya Sarah pada keponakannya. “Kakinya oke?”

“O ... ke. Cuma masih sedikit takut aja,” jawab Meli agak ragu di awal. Sesekali tangan kanannya ikut berpegangan pada sisi kiri tangga, membuat gadis itu turun dengan posisi menyamping.

Sarah tersenyum mendengarnya. “Syukur, deh. Kamu harus bilang terima kasih sama Cahyo, Mel. Dia udah bantu banyak banget. Sesekali coba main ke rumahnya, biar kalian makin kenal dan kakimu terbiasa naik-turun tangga.”

Mendengar sang bibi mengatakan itu, Meli hanya terdiam. Sarah benar. Rasanya curang karena selama ini Cahyo mengetahui banyak hal tentangnya, sedangkan ia hanya mengenal sedikit hal tentang lelaki itu.

Ah, tapi bukankah ia akan kembali ke kota tak lama lagi? Mengenal lebih banyak tentang Cahyo pun akan percuma karena ujung-ujungnya pasti akan jarang bertemu.

Tes....

Pegangan tangga semakin basah berkat rintik gerimis yang mendarat. Meli mengusap kumpulan rintik itu dengan tangannya sambil fokus memperhatikan langkah. Kaki kirinya sedikit aneh, mungkin karena masih dalam tahap pemulihan. Namun, tentu sekarang sudah jauh lebih baik daripada dulu. Kata bibinya, sih, hanya tinggal pembiasaan dan latihan terus.

“Mel, Cahyo itu juga babak belur kayak kamu, loh.” Di antara syahdunya ragam kicau burung di kejauhan, Sarah tiba-tiba bersuara lagi. “Jadi, ajak dia buat bangkit juga, ya.”

Meli mendongak pada sang bibi yang tingginya semampai. Raut wajah gadis itu sudah menampakkan tanda tanya jauh sebelum lisan yang mengutarakan.

Chill, Nona Manis. Ya ampun, mukamu lucu banget kalau bingung. Makanya, tanya orangnya, dong.”

Lalu, bibi-keponakan itu terus melangkah. Satu per satu anak tangga pun dipijaki, mengantarkan dua insan tersebut ke anak tangga terbawah. Sebuah rumah oren sederhana tampak berdiri kokoh di tengah halaman, sementara beragam tanaman dan pohon tumbuh di sekelilingnya. Tanaman sirih merah tampak subur dan menjalar rapi di samping kanan rumah, sementara di sisi kiri terdapat sebuah toko yang buka. Bibi Sarah sepertinya memang sudah berniat ke rumah Keluarga Setiawan sejak awal. Wanita itu langsung melenggang ke teras rumah keluarga tersebut dan memberi salam, meninggalkan keponakannya yang masih memperhatikan sekitar.

Tiba-tiba rintik menjadi deras. Motif polkadot di baju mustard Meli berubah menjadi acak dan sebentar lagi mungkin akan mengubahnya seperti kunyit basah. Membuat payung dengan tangan yang melengkung di atas kepala, Meli berlari semampunya menuju teras toko yang berjarak enam meter dari tangga.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 18, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

20-20Where stories live. Discover now