3. Asing dan Dekat

87 6 9
                                    

🏸D+18🏸

Mentari sudah unjuk diri dan siap mengeringkan alas⁸ yang basah usai terpaan hujan pagi. Mesin mobil keluarga Wijaya segera dimatikan begitu kendaraan tersebut berhasil parkir di pekarangan luas dari sebuah rumah tanpa pagar. Rumah oren itu milik mendiang Kakek Purnomo, seorang pedagang terkenal di pasar kota yang tujuh tahun lalu meninggal karena penyakit jantung.

Dari kursi tengah, Ibu Wijaya memperhatikan rumah luas dan sederhana tersebut. Ada sulur sirih hijau yang menjalar di dinding depan dan juga deretan bunga sepatu merah, menambah aksen natural dari rumah tersebut. Mendapati dua orang pemuda di luar mobil yang dikenali sebagai cucu-cucu Kakek Purnomo, wanita itu pun bertanya mengenai bujang berkemeja kotak-kotak yang tengah memasang senyum canggung ke dalam mobil, “Itu anaknya almarhum Pak Setiawan, ya? Makin ganteng aja.”

“Pak Setiawan? Oh, ya? Bukannya dulu masih kecil?” tanya Sarah. Sebagai fisioterapis tim nasional bulu tangkis yang selalu menemani para atlet dalam padatnya turnamen tahunan, ia telah tertinggal banyak kabar mengenai pertumbuhan muda-mudi di sana. Libur akhir tahun memang ada, tetapi tidak bisa selalu dipakai untuk pergi mengunjungi kampung halamannya.

Meli ikut memperhatikan. Beberapa kali pergi ke sana, ia hanya mengingat nama seorang anak yang lebih muda dua tahun di bawahnya. “Royo?” tebak Meli singkat, ditanggapi gelengan oleh sang ibu yang berada di sampingnya.

“Bukan. Yang di sebelahnya, Mel,” jawab Ibu Wijaya.

Sambil menggulung lengan panjang kaus cokelatnya yang kebesaran hingga seperempat bagian, ia memasang ekspresi bingung. Meski jarang pergi ke sana, seharusnya ia memiliki sedikit memori tentang sosok yang dibicarakan. Namun, tidak ada secuil memori pun mengenai lelaki di arah jam dua belas yang tengah melebarkan senyum canggung itu.

Perbincangan di dalam mobil masih berlanjut. Kali ini Pak Wijaya menjelaskan, “Wajar kalo enggak kenal, soalnya kamu belum pernah ketemu. Dia pindah dari Semarang tujuh tahun lalu setelah bapaknya meninggal,” jelas bapak itu menangkap kebingungan sang putri. Pria paruh baya tersebut keluar dari mobil dan kembali satu detik berikutnya untuk membuka pintu di sebelah kiri Meli, kemudian berbisik demi menjaga jumlah pendengar, “Cahyo, suka bulu tangkis juga. Waktu Bapak pulang berdua sama Ibu doang, dia pernah ikut lomba bulu tangkis di acara tujuh belasan dan menang. Punya satu adik perempuan. Mereka itu sepupunya Royo, Mel. Sama-sama cucunya Mbah Purnomo.”

Meli mengangguk tanda paham, sementara ayahnya kini berlari kecil menuju pintu bagasi. Dua buah tepukan kecil pada pundak kanan membuatnya menoleh pada Ibu Wijaya yang tampak antusias.

“Si Cahyo ini kayaknya bakal jadi temen kamu selama di sini, Mel,” tebak sang ibu. “Kalo enggak salah, kalian cuma beda setahun.”

Mendengar itu, Sarah menggelengkan kepala heran dan ikut keluar dari balik kemudi guna membantu keponakannya memasang brace lutut. Dengan senyum yang mengembang, fisioterapis itu mendekat ke pintu tengah dan berkata, “Ya ampun, Mel. Ibumu udah kayak peramal aja,” sahutnya. Tangannya cekatan mengatur penyangga lutut yang dikenakan Meli.

Sang ibu tertawa, lalu mendekatkan kruk di belakang mobil ke samping putrinya. Perasaan ibu dua anak itu jauh lebih baik setelah si bungsu mulai mau diajak bicara seperti sekarang. Wanita itu pun beranjak keluar demi membantu suaminya menurunkan barang dari bagasi. Ada tiga koper berisi pakaian—dua di antaranya milik Meli, satu lagi milik Sarah, tiga slop kok, empat raket yang sempat dibuang oleh Meli karena kesal dan trauma, tiga pasang sepatu bulu tangkis, serta kebutuhan lainnya. Oh, jangan lupakan sarung kesayangan si Nona Wijaya. Ia tidak akan bisa tidur tanpa kain itu.

“Jangan bikin heboh, ya, Bu Lik. Aku enggak mau diomongin orang-orang,” ucap Meli begitu Sarah selesai mengatur brace lututnya dari luar pintu mobil.

20-20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang