11. Babak Final

46 5 0
                                    

🏸H+23🏸

Siang hampir tiba ketika Cahyo memanjat pohon turi yang telah berbunga di samping rumahnya. Di atas sana, ia mengeratkan kedua kaki dan tangan kanan pada batang pohon berukuran sedang supaya badannya tidak jatuh—sekilas mirip peserta lomba panjat pinang. Pada tangan kiri lelaki yang hanya mengenakan kaus singlet putih dan boxer cokelat itu, terdapat sebuah gergaji kayu yang digerakkan maju-mundur pada dahan pohon. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya dahan terpotong dan jatuh.

“Gimana? Udah cukup?” tanya Cahyo dari atas pohon pada seorang anak lelaki yang lebih muda darinya di bawah sana.

Yang diajak bicara pun mengalihkan pandangan dari layar ponsel kepada dahan-dahan pohon turi yang sudah berhamburan di halaman rumah. Setelah merasa ada banyak kembang turi putih pada sekumpulan dahan yang telah membumi itu, ia mendongak. “Wah, kalo ini, sih, bisa buat makan tiga atap keluarga, Yo,” hiperbola Royo—lawan bicara Cahyo, pada sang sepupu yang terlihat mengernyit karena silaunya mentari. “Wis, turun. Udahan jadi Tarzan-nya.”

Cahyo melempar gergaji ke sisi halaman yang kosong dan aman, kemudian merayap turun dengan hati-hati. Begitu sampai di bawah, ia menyentil plontos sepupunya itu dengan cukup keras. Korban jitakan mengaduh kencang sembari mengusap-usap bekas sentilan di kepalanya.

“Ada masalah apa, sih, Mas Cahyo!” omel Royo, bingung dengan jalan pikiran sepupunya.

Selagi mengelap keringat di sekitar wajah dengan ujung kaus singlet, Cahyo menunjuk ponselnya yang berada di tangan Royo dengan dagu. “Maksudku itu artikel, bukan kembang turi!” seru si Setiawan sulung yang gemas. “Udah cukup bagus, atau ada yang perlu ditambahin?”

“Oh!” sadar Royo dan tertawa setelahnya. Beberapa menit yang lalu, Cahyo memang memintanya untuk meninjau artikel yang telah ia buat. Royo yang telah selesai membacanya pun membuat suara hm panjang sembari berpikir. Tangan kanan yang memegang ponsel terlipat di depan dada, sementara ibu jari dan jari telunjuk tangan kirinya memangku dagu. “Hm ... tulisanmu makin bagus, padat, dan rapi, Mas. Berdasarkan sudut pandang seorang siswa kebanggaan dari jurusan Bahasa sekaligus penggemar olahraga pertepokan bulu angsa ...,” Ia membuka kalimat bak editor kondang, lengkap dengan kepercayaan diri tingkat tinggi. “menurutku, sih, ini udah cukup jelas dan yang pasti ... bukan clickbait. Widih. Aku ketok keren, yo, nek ngomong boso Inggris.³⁴”

“Serius?” tanya Cahyo dan dibalas anggukan mantap oleh sepupunya. Mendengar hal tersebut, dua sudut bibirnya tertarik ke atas karena senang dan lega. Dengan cekatan, ia bergegas memetik kembang turi dari dahan-dahan yang telah dipangkas, lalu memasukkannya ke dalam bakul milik sang ibu. Bakul itu pun segera penuh oleh kembang turi putih yang siap untuk ditumis pedas. Kemudian, lelaki itu bertanya lagi, “Kira-kira, kalo aku coba ngelamar nulis artikel lagi, bakal diterima atau enggak?”

Royo menangkap kobaran optimisme di sekitar lelaki itu. Ia pun ikut berjongkok di seberang sang sepupu. “Coba aja dulu,” katanya, lalu mendesis. “Sampeyan ki ora iso adoh-adoh seko bulu tangkis, yo³⁵. Kalo aku di posisi Mas, wis trauma, deh. Banyak kenangan enggak enaknya.”

Jeda bicara melingkupi keduanya. Di bawah pohon turi yang daunnya melambai diterpa angin, akhirnya terdengar respon.

Mbuh, yo,” respon Cahyo. Kumpulan oksigen memenuhi rongga dada begitu ia meraup udara banyak-banyak, kemudian langsung kosong saat unsur kimia berbentuk gas limbah dibuang rakus. Dipikir lagi, ucapan Royo ada benarnya. Dalam posisi jongkok, kedua tangan Cahyo yang diluruskan menumpu pada kedua lutut. Lelaki yang basah oleh keringat itu lantas mengulum senyum tipis sembari menatap langit, menikmati semilir angin yang mengusir rasa gerah. “Tapi ... mendingan berdamai, kan, ketimbang terus dikasih jeruk nipis atau garam? Ben lukane sembuh.³⁶ Aku, yo, mikir-mikir kerja apa yang bisa dikerjain lulusan SMA dari rumah, jadi bisa sambil jagain Ibu dan ngurusin warung.”

20-20Where stories live. Discover now