5. Turnamen Angin

88 6 10
                                    

🏸H+19🏸

Hari ini cuaca cukup berangin. Kalau kata Cahyo, cuaca seperti ini sangat cocok untuk dinikmati dengan pergi ke alas yang lebih tinggi sambil menikmati segelas teh hangat dan mengamati sungai di bawah serta deret pegunungan yang buram di kejauhan—walau ujung-ujungnya pemuda itu lebih sering menonton kartun lucu sampai terbahak dan tersedak selagi menjaga warung, membuat artikel tentang olahraga, atau berkaraoke dengan Royo. Kalau kata Cahyo lagi, cuaca seperti ini tidak cocok untuk bermain bulu tangkis.

Ealah, angin!” gerutu si Setiawan dari lapangan tempatnya berpijak. Karena faktor angin, satu pukulan menukik yang direncanakan akan masuk malah meleset tipis ke luar lapangan, menyebabkan poin cuma-cuma bertambah untuk lawan. Rambut hitamnya yang sudah cukup panjang tampak berantakan, menampilkan headband biru dongker—benda wajib yang selalu Cahyo kenakan selagi bertanding—dari sela-sela poninya. Kalau saja masih sekolah, sudah dipastikan ia akan jadi incaran nomor satu dalam razia kerapihan yang dilakukan guru BK. Cahyo akan menjadi pelari dadakan demi menghindari gunting ajaib milik sang guru.

Ojo sambat!²²” pekik Lala, sang adik, dari samping lapangan.

Lelaki itu mencoba untuk kembali fokus. Pandangannya menatap kok yang siap dilempar oleh lawan tanpa berkedip. Pertandingan hari ini merupakan seleksi yang diadakan RT mereka untuk pertandingan di kelurahan bulan depan. Meski tidak bisa menjadi atlet nasional karena larangan mendiang sang ayah, setidaknya ia harus bisa menjadi pemenang di lomba tersebut. Bambang tentu bukan lawan yang bisa dianggap enteng. Tanpa gangguan angin pun, lawan main Cahyo yang tinggal di bagian bawah alas itu akan sulit dikalahkan. Terlebih postur tubuh Bambang lebih tinggi darinya.

“Bambang bersiap melakukan servis.”

Suara Pak Slamet yang bertindak sebagai komentator langganan di setiap pertandingan sederhana ini kembali terdengar, membisukan sorak sorai penonton di pinggir lapangan yang mulai menyerahkan atensi ke pertandingan.

Bambang menerbangkan kok di tangannya ke sisi lapangan Cahyo. Rangkaian bulu angsa itu berhasil diambil oleh raket Cahyo dan dibalas dengan lemparan melambung ke atas kepala Bambang. Dengan posisi terbaik, lawannya itu pun melakukan smash. Beruntung, si Setiawan sulung berhasil mengangkat kembali bola yang hampir menyentuh lapangan. Kanan-kiri, depan-belakang. Kedua pemain bergerak lincah ke sana kemari demi mengejar kok, coba mencari celah kosong dan kelemahan lawan untuk mendapatkan angka.

Netting²³ tipis dilakukan oleh kedua pemain, Bung! Ya Gusti! Sik, sik. Aku tak merem bentar, ben wasit sing ngawasin. Ngeri soale²⁴LOH! Bola bergulir di net dan gagal dikembalikan oleh Cahyo! Ya! Satu poin keberuntungan untuk Bambang!” seru Pak Slamet diselingi jenaka yang menambah keseruan pertandingan. Pria tambun itu batal memejamkan mata karena permainan netting sudah lebih dulu usai.

Ia melihat Cahyo mengerutkan dahi dan memejamkan mata, tampak kecewa di antara napas yang sudah terburu-buru. “Namun, apa pun bisa terjadi! Mari kita saksikan terus pertandingan ini. Lima belas-tiga belas untuk Bambang yang memimpin dua angka. Eh, eh! Ndul, mundur. Kamu mau kena smash?” katanya memberi asa, kemudian menegur seorang bocah plontos yang bergerak maju ke dekat garis luar lapangan.

Agaknya angin mulai bersahabat. Angka demi angka didapatkan oleh Cahyo hingga berhasil memenangkan gim pertama. Lelaki itu mengambil jeda istirahat dengan bersandar pada tembok pagar rumah Mbah Susi, meraih botol minum milik sendiri yang diletakkan di atas tembok setinggi ketiaknya. Sembari meneguk air, matanya menyapu bagian depan rumah abu-abu tersebut. Begitu sampai pada jendela persegi panjang yang gordennya terbuka, lelaki itu tersedak air yang baru seteguk membasahi kerongkongan keringnya.

Para warga asyik bergosip hal lain dengan Bibi Sarah yang sedari tadi memang ada di sekitar lapangan untuk menonton pertandingan, sehingga tidak ada yang menyadari jika salah satu atlet RT mereka sedang berjuang antara hidup dan mati. Ia berjongkok dan menenangkan diri, lalu kembali meneguk air setelah kondisinya membaik.

20-20Where stories live. Discover now