9. Teras Dingin

79 5 1
                                    

🏸H+21🏸

Dari atas kasur kapuk yang terletak di samping jendela kamar, udara segar dan dingin bekas hujan semalam berbondong-bondong masuk ke dalam ruangan. Meli dengan mata setengah terbuka melemparkan pandangan pada perbukitan hijau berkabut di luar rumah Mbah Susi. Muka bantal dan rambut singa begitu mencolok di antara asrinya pagi. Sambil sesekali menguap, ia jadikan tiang kosen di tengah dua jendela yang terbuka sebagai sandaran kepala, sementara sarung motif kesukaannya sudah menjadi jubah untuk menghangatkan punggung.

"Pagi," bisiknya pada seekor semut hitam kecil yang melintasi kosen.

Asap dingin yang keluar dari mulut menjadi tanda helaan napas si bungsu Wijaya. Semalam, ia hanya tidur tiga jam karena sibuk melakukan riset terhadap pemain-pemain lain lewat layar ponsel. Perjalanan panjang yang tidak bisa diprediksi membuat kepalanya seolah hampir copot. Jadwal harian yang tertempel di dinding pun tampak begitu padat dengan agenda latihan sampai konsultasi, bahkan juga sekolah daring.

Satu buku catatan krem dengan motif pohon tak pernah absen dari atas kasur dan sudah basah kuyup dengan tumpahan isi kepala. Hal itu karena psikolog memintanya untuk menulis semua perasaan negatif dan positif, perkembangan yang ia rasakan, dan juga rencana-rencana cadangan di buku tersebut. Meski dirasa sudah cukup membaik, kecemasan dan rasa takut masih membayangi sesekali. Rasa nyeri yang masih muncul sesekali juga menciutkan nyali untuk kembali bermain. Ditambah, dua bulan lagi akan ada seleksi untuk menentukan siapa yang akan masuk, bertahan, dan keluar dari timnas. Jika cedera begini, entah apa yang akan terjadi ke depannya.

Kalau punya alat ajaib seperti Doraemon, Meli ingin coba pastikan jika kepalanya tidak sedang digerogoti rayap dan kalau iya, maka bisa disembuhkan dengan sekali klik.

Bibi Sarah muncul dari tangga bawah dengan tangan terlipat di depan dada. Topi hoodie putihnya dibiarkan menutup kepala agar tengkuk dan telinganya tidak dingin. Senyum Sarah mengembang pada sang keponakan yang menatapnya datar usai menguap lebar.

"Pagi, Mel. Kalo nguap ditutup, biar enggak ada tokek masuk."

Pada langkah ke tujuh menggunakan sandal jepit motif bunga-bunga, wanita itu pun sampai di depan Meli dan melongok ke dalam kamarnya, tepatnya pada lutut gadis tersebut. "Coba tekuk lutut kamu."

Kedatangan wanita itu membuat ingatan Meli berlabuh lagi pada perbincangan aneh sang bibi dengan neneknya tempo hari. Si muka bantal tersebut kemudian menunjukkan lututnya yang kini sudah bisa menekuk seratus derajat. Jika melihat perkembangan, kondisi itu sudah jauh lebih baik dari hari pertama setelah operasi dan sekarang sudah masuk ke minggu ketiga.

Anggukan Sarah pun terlihat. "Oke, bagus. Mulai besok, kita coba latihan berdiri tanpa tongkat dan jalan tanpa brace, ya. Hari ini enggak usah pegang raket dulu, latihan mandiri kayak biasa aja biar otot kamu makin kuat dan enggak kaku," kata Sarah, lalu memperhatikan wajah kuyu keponakannya. "Eh, kok mukamu makin jelek?"

Dibilang jelek, Meli hanya tersenyum unjuk gigi. Tanpa jawaban pun Sarah tahu apa maksud senyuman itu.

"Hih!" Saking gemasnya, ia pukul lengan sang keponakan. "Udah dibilangin jangan begadang. Mata panda, tuh!"

Meli mengaduh karena pukulan bibinya benar-benar niat. Ia usap lengan kirinya sampai rasa sakit itu hilang. "Duh. jangan galak-galak, dong."

Tidak peduli, Sarah malah melotot. Galak-galak begitu, ia sebenarnya penyayang. Sebelum pergi bekerja pun, Sarah selalu sempatkan diri untuk memantau pemanasan sang keponakan. Bersama dengan seorang Dokter Ortopedi terpilih yang Meli kunjungi secara rutin setiap hari Sabtu, Sarah menjadi wali dan pengawas utama, termasuk pemberi instruksi latihan pada Cahyo yang secara sukarela membantu agar kemampuan pukulan atlet itu tidak menurun. Lingkungan di sana yang jauh dari perkotaan juga telah ia perhitungkan matang-matang supaya trauma Meli reda.

20-20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang