09

24 7 0
                                    

Waktu benar-benar berjalan dengan sangat cepat, sudah hari sabtu dan beberapa waktu lalu Karen membaca sederet pesan yang di sampaikan oleh Hanif kalau ia sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.

"Cantik banget anak mama, tumben gak di kamar aja hari sabtu"

Gavin yang duduk di sofa ruang tamu terkekeh melihat bagaimana Karen sudah rapih dan mendudukkan dirinya di samping Gavin.

Hal yang jarang terjadi karena Karen akan lebih memilih untuk bergelung di balik selimut dan laptop yang berada di hadapannya untuk menonton beberapa film selama satu hari penuh.

"Aku mau pergi ya ma"
"Iya, sama siapa? Dinda? Apa Haris dan Ardi?" tanya wanita berusia empat puluh lima tahun sambil merapihkan meja makan.

"Sama gebetannya" jawab Gavin.

"Gebetan? Adek punya pacar?" itu suara ayah yang tiba-tiba saja hadir dan membuat Karen langsung memutar bola matanya malas karena mulut Gavin yang sangat tidak bisa dijaga.

"Enggak, gak usah dengerin Gavin gak jelas" sahut Karen sewot dengan tangannya yang langsung mencubit lengan Gavin.

Tidak lama dari perbincangan kecil yang terjadi di antara ketiganya tiba-tiba saja Hanif muncul di depan pintu rumah Karen yang memang sengaja di buka saat hari menuju siang seperti ini, kehadiran Hanif yang tidak memberikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Karen membuat wanita itu langsung buru-buru berdiri dari duduknya.

"Kok gak bilang?" Karen dengan spontan mengucapkan apa yang ada di pikirannya membuat Gavin jadi semakin tidak bisa menahan tawanya melihat bagaimana adiknya tampak kaget.

"Teman adek apa temen kakak?" wanita paruh baya yang masih menggunakan daster dengan cepolan rambut muncul di belakang Gavin dan Karen yang menyambut Hanif dengan gaya berbeda.

"Teman dua-duanya tante" sahut Hanif, memberikan senyumannya yang langsung di puji oleh ibu Karen.

Ini yang Karen takutkan, belum apa-apa saja Hanif sudah di terima dengan tangan terbuka oleh ibunya dan lihatlah bagaimana Hanif sekarang sudah duduk di meja makan dengan Gavin yang super cerewet.

"Mending lo ke atas deh bantuin ayah" sungut Karen karena mulut Gavin sangat amat tidak bisa diam terus berkicau mengutarakan hal-hal yang menjatuhkan Karen di hadapan Hanif.

"Tante, boleh pamit ya ajak Karennya pergi dulu" Hanif menyela melihat bagaimana gerakan tubuh Gavin yang akan memulai pertengkaran dengan Karen.

"Boleh, boleh. Mau jalan kemana sih pagi-pagi?"

"Biasa maaa anak muda, mau ngedate seharian penuh" Gavin yang memberikan sahutan kepada ibunya membuat Karen semakin sebal dan meninju bahu Gavin.

"Hush kakak, gangguin adeknya terus. Boleh-boleh kok pergi, pamit ayah dulu ya sebentar mama panggilin" senyum yang dimiliki oleh ibu Karen dan Gavin sangat mirip dengan milik Karen membuat Hanif langsung memandang Karen sesaat setelah wanita paruh baya di hadapannya menghilang di balik tangga.

Gavin menatap jahil ke arah Karen yang masih berharap bahwa dirinya segera angkat kaki dari sini tapi Gavin adalah Gavin yang jahil, ia masih duduk dengan tenang di kursinya dan sesekali melempar tatapan jahil ke arah Karen.

"Nif, hati-hati ya sama Karen"

"Kenapa tuh bang?" tanya Hanif.

"Udah-udah gak usah dengerin nih orang gak jelas" cegah Karen sebelum Gavin berbicara lebih jauh lagi.

"Adek mau pergi?" suara berat laki-laki menggema di ruang makan membuat tiga kepala langsung menengok ke arah suara dan laki-laki dengan tubuh yang tegap, rambut yang sudah dominan dengan warna putih dan janggut yang juga sudah dominan di isi oleh warna putih.

The Neo Broken Heart ClubWhere stories live. Discover now