12

33 5 0
                                    

"Itu lo kan" Karen mendongakkan kepalanya menatap Dinda yang tiba-tiba membanting tasnya di atas meja panjang kantin fakultas. Membuat Ardi dan Haris yang sedang tertawa langsung berhenti dan menatap Dinda secara bersamaan.
"Siapa, Din?" tanya Ardi menjadi pemecah kebingungan ketiganya.
"Haris, itu lo yang ngirim surat ke podcast Karen"

Karen tersedak air putih yang di tenggaknya melalui botol minum, ia menatap Haris yang wajahnya berubah sangat pucat dan Dinda yang seperti sudah bertanduk bersiap untuk menyerang Haris dengan entah pukulan atau mungkin rentetan omelan yang tidak akan berhenti setelah ini.

"Kata siapa?" elakkan yang Haris berikan membuat Dinda langsung tertawa kesal sambil bertolak pinggang.
"Gua tau lo dan gua tau dari setiap kata yang lo pilih dalam surat itu, it screams you! sejak kapan?"
"Apanya?" tanya Haris lagi masih bersikap bodoh.

Karen sedikit memundurkan duduknya berusaha untuk tidak ikut campur dalam pembicaraan panas keduanya, walaupun Karen membacakan surat Haris tetapi ia tidak ingin tertarik dalam permasalahan Haris dan Dinda. Karena sesungguhnya Karen juga tidak yakin apakah Haris benar-benar menyukai Dinda atau dia hanya melihat Dinda sebagai seseorang yang ia rindukan, kakak Ardi yang menjadi salah satu cinta pertama dan sulit dilupakan oleh Haris.

"Gak usah sok bego deh, gua nanya dari kapan?"
"Pertanyaan lo retoris banget Din"

Dinda kembali terkekeh mendengar jawaban Haris yang terus saja menghindari dari inti pertanyaan yang diberikan oleh Dinda, karena sejujurnya Dinda hanya ingin tahu sejak kapan Haris menyimpan rasa kepadanya dan kenapa harus dia? Dinda merasa Haris sudah mengkhianati persahabatan mereka.

"Klise kalau jawaban lo karena terbiasa sama gua, Ris lo tuh cuma ngeliat sosok kakak Ardi di gua"
"Dan gua kecewa sama lo, gua pikir kita beneran bisa sahabatan tanpa melibatkan perasaan" terdengar jelas nada kecewa pada ucapan Dinda.

Dinda mengambil tas yang ia lempar sebelumnya di atas meja dan pergi begitu saja meninggalkan Haris dan Ardi yang tersentak mendengar penuturan Dinda. Walaupun kalimat itu diutarakan oleh Dinda kepada Haris, entah bagaimana Ardi tertohok dengan kalimat tersebut.

"Lo mending kejar dia deh" ujar Karen memecahkan keheningan yang kembali terbangun sejak kepergian Dinda.
"Ngapain? Emang anaknya suka cari sensasi aja"
"Gua rasa bener Ris kata Dinda soal ngeliat sosok ka Rea di Dinda, mereka emang mirip Ris... Tapi dia Dinda" celetukan yang diberikan oleh Ardi sama sekali tidak membuat suasana membaik, malah membuat Haris tertawa sebal dan beranjak dari duduknya meninggalkan Ardi dan Karen yang saling menatap satu sama lain, bingung.

"Cinta emang rumit" hela Karen melihat punggung Haris yang sudah hilang dibalik lorong menuju koridor fakultas.
"Iya, lo kemarin kemana abis dari mall?" pertanyaan yang diajukan oleh Ardi membuat Karen mengerlingkan matanya, secepat itu Ardi membalikkan topik pembicaraan.

"Ke studionya the zone, minimalis gituu tapi keren sih"
"Nontonin mereka latihan?" Karen menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Ardi.
"Hanif bad mood karena liat Ashila sama Tama?"
"Hah?" Karen dengan wajah polosnya yang sangat kaget karena bagaimana Ardi bisa langsung bertanya demikian padahal Karen sama sekali tidak menceritakan ke siapapun perihal perubahan sikap Hanif setelah papasan yang mengejutkan di parkiran mall.

"Hati-hati deh, kita gak tahu Kay dia udah beneran move on atau belum"
"..."
"Gua disini bicara sebagai sahabat lo, jangan gampang di bodohin deh sama dia. Mana ada juga orang yang baru putus dari hubungan selama itu terus langsung udah ngedeketin cewek lagi? Contohnya Haris, gua gak tau deh udah berapa lama dia udahan sama ka Rea, dia baru bisa suka Dinda juga baru-baru ini pasti. Gak mungkin Kay perasaan orang bisa hilang secepat itu"

Karen termenung memeluk botol minumnya mendengar penuturan Ardi yang seratus persen benar, tidak ada satu pun dari kalimat yang Ardi sampaikan sebuah kesalahan karena itu semua benar. Tapi.... memang setiap orang lama ya untuk bisa move on?

...

"Karen"

Sedikit terkejut mendengar namanya dipanggil tepat sebelum ia naik ke ojek online yang sudah siap memberikan helm kepadanya.

"Ka Hanif?"
"Oh.. mau pulang ya, kenapa nggak bilang?"

Canggung, itu yang hadir di antara Karen, Hanif dan abang ojek yang menatap keduanya bergantian. Mungkin berusaha menemukan benang merah apa yang sebenarnya terjadi, apakah ia sedang menyaksikan psangan yang lagi bertengkar?

"Ehehehe, tadi buru-buru karena mau... pulang" Karen tertawa canggung mendengar ucapan dari bibirnya yang benar-benar nggak banget.

"Oh, oke hati-hati" ujar Hanif, membalikkan badan.

Karen sedikit kaget melihat bagaimana Hanif langsung berjalan dua langkah menjauh, sejujurnya Karen ingin Hanif bersuara dan mengatakan sesuatu soal kejadian malam lalu. Tapi... sepertinya teman-temannya benar, kalau ia harus hati-hati dengan Hanif.

Baru saja Karen akan naik ke kursi penumpang, usai mengenakan helm. Hanif berjalan mendekat dan tersenyum ke arahnya.

"Sorry I was rude last night, not in good mood. Nanti malem kamu nggak kemana-mana kan? Let's have dinner, nanti aku izin ke Bang Gavin"

Karen ngefreeze, abang ojek berdehem seperti membersihkan tenggorokan yang pasti hanya berlaku agar kecanggungan yang terasa dari aura Karen nggak membuat dirinya juga ikut canggung selama menyetir.

"O-oke" gagu Karen dan menyaksikan Hanif yang benar-benar pergi dari hadapannya.
"Neng? Ini langsung jalan aja kan ya?"
"Eh iya bang, jalan aja sesuai map ya"

He said 'aku' dan 'kamu', apakah ini berarti sesuatu??? batin Karen.

.
.
.
.
.
.
.

Hai! I'm back!!! hehehe maaf ya sudah menghilang cukup lama, karena saat ini aku juga sudah punya kesibukan lain yang berjalan selama weekday. Untuk, 'The Neo Broken Heart Club' akan aku update secara regular di weekend ya! 😊

The Neo Broken Heart ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang