7

2.9K 277 8
                                    

Senyum merekah selalu terpatri di wajah sang antagonis, kedua tangannya membawa sekotak bekal makan siang buatannya sendiri untuk sang pujaan hati.

Ekspresi Agnes begitu kontras dengan ketiga dayangnya-Dinda, Lolita, dan Riska. Tentu saja ketiga manusia yang sedari tadi mengekorinya beraut masam, itu karena mereka harus bangun pagi untuk membantu sang ratu memasak, padahal niat mereka ingin bolos setidaknya sampai upacara bendera selesai tapi Agnes malah menyeret mereka untuk hal yang tidak penting.

"Sudahlah Agnes, nyerah aja Damian pasti nolak bekal pemeberian Lo lagi." Ucap Lolita, dia sudah paham dengan apa yang terjadi nanti.

Agnes mendelik kesal, "Berisik, Lo gak bisa lihat gue seneng apa?!"

Lolita memutar bola matanya malas, percuma memberi tahu Agnes. Cewek ini kepalanya sekeras batu.

"Buat apa Lo berjuang keras untuk manusia yang bahkan enggan ngeliat Lo. Semua usaha yang Lo lakuin bakal sia-sia dan berakhir di tempat sampah. Sadar dong Nes!" Celutuk Dinda tanpa peduli jika perkataannya menyakiti perasaan Agnes.

Agnes berhenti melangkah, genggamannya pada kotak bekal semakin mengeras. Agnes menoleh kebelakang, senyuman terpatri di wajahnya.

"Kenapa? Selagi gue berusaha, gue yakin suatu saat usaha gue gak akan sia-sia. Kalaupun usaha gue gak berhasil, itu bukan berarti gue gagal, gue cuma belum berusaha lebih kuat lagi."

Ketiganya terdiam, mereka tahu jika senyum yang terlihat itu palsu. Agnes sudah terlalu banyak menderita.

Merinda Agnes Juanwanda, putri ke-dua dari keluarga Juanwanda. Agnes merupakan anak ke-tiga dari empat bersaudara, jika kalian pikir kehidupan Agnes sangatlah bahagia maka kalian salah. Menjadi salah satu dari keluarga terpandang membuat Agnes harus terlihat sempurna. Orang tuanya selalu menuntutnya untuk menjadi sempurna.

Tapi Agnes hanya manusia biasa. Manusia yang juga memiliki kekurangan. Agnes bukanlah orang yang jenius berbeda dengan ketiga saudaranya, nilai akademiknya tidak sebagus kakak-kakak dan adiknya.

Agnes selalu dibanding-bandingkan dengan si bungsu yang selalu mendapat nilai sempurna berbeda dengan dirinya yang selalu mendapat nilai di bawah atau pas KKM.

Itu sebabnya Agnes selalu di abaikan oleh keluarganya, tidak di akui dan menjadi transparan. Walaupun Agnes berada di tempat yang ramai, dia selalu merasa sendiri. Baginya, terabaikan jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik, dia hidup tapi diperlakukan seperti orang mati.

Maka dari itu Agnes selalu membuat keributan, dia ingin diperhatikan, dia ingin membuat eksistensinya sendiri di dunia ini. Walaupun Agnes harus menjadi penjahatnya.

_____________________________________

Langit berwarna biru terang, cahaya mentari yang menerpa dengan hangat, serta burung-burung yang menari dengan kicauan merdunya. Seharusnya ini menjadi hari yang damai dan tentram, tapi sepertinya hal ini tidak berlaku bagi Bagas dan Rizal.

Pertempuran panas terjadi, mata saling melirik tajam seolah ada aliran listrik diantara mereka berdua. Kedua tangan saling berebut mendapatkan sebuah bakwan di atas piring, perdebatan keduanya disaksikan oleh ketiga manusia yang sayangnya kelewat tampan ini.

"Bukan temen gue." Ucap Alan singkat, padat, dan jelas.

"Sama." Sahut Gibran datar.

"Hm." Nah, kalau yang ini Damian yang ngomong, hanya dua huruf. Sedikit kan?

Beberapa saat setelah pertempuran itu dimenangkan oleh Bagas, mengabaikan raut wajah Rizal yang cemberut, mereka melanjutkan obrolan santai di selang waktu istirahat.

Bellजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें