API ASMARA

10.2K 1K 23
                                    

Anggara berjalan-jalan dipinggir sungai. Dirinya tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. Perkataan pak Purnomo tentang masjid tiban membuatnya bersemangat namun juga sedikit ada keraguan dalam hatinya.

" Masjid tiban itu sudah dikutuk oleh penguasa Rawa Ireng nak Anggara. Jika ada yang nekat mengumandangkan adzan atau bahkan sholat di masjid tersebut, maka esoknya dia akan terkena penyakit aneh, kulitnya, kudisan, bersisik lalu menjadi gila bahkan hingga meninggal dunia. Itu sebabnya tidak ada yang berani dekat-dekat bahkan sholat didalam masjid itu. Nak Anggara yakin ingin membuka kembali masjid itu? Saya tidak mau ambil resiko yang bisa membahayakan warga desa Kalimas. Lebih baik nak Anggara berpikir matang-matang terlebih dahulu. Untuk sementara tinggalah dirumah saya jika nak Anggara berkenan."

Anggara menolak halus tawaran dari pak Purnomo. Jujur saja dirinya agak risih dengan Lastri yang selalu menatapnya. Dirinya memutuskan untuk tinggal disalah satu rumah warga yang berada disebelah masjid tiban.

Kata pemilik rumah, dulu rumahnya sering dia sewakan kepada orang pendatang yang kebanyakan dari mereka adalah seorang pedagang. Namun mereka tidak betah hingga lambat laut tidak ada yang mau menyewa rumahnya tersebut.

Pemilik rumah sangat senang saat tahu jika Anggara akan menyewa rumahnya dalam waktu yang agak lama dan pembayarannya langsung dibayar lunas.

Sebenarnya, andai tidak angker, masjid tiban terletak di tempat yang sangat strategis yaitu berada di tengah-tengah pemukiman warga. Jika suara adzan menggema maka akan terdengar keseluruh pelosok desa Kalimas.

Saat Anggara tengah berdiri menatap aliran sungai, matanya melihat selendang hijau yang terhanyut air sungai. Tanpa pikir panjang dirinya mengulurkan tangannya mengambil selendang hijau tersebut.

" Selendang siapa ini? "

Anggara menoleh kekanan dan kekiri. Namun tak ada seorang pun dipinggir sungai selain dirinya. Anggara memutuskan untuk membawa pulang selendang tersebut lalu diberikan kepada pak Purnomo selaku kepala desa. Siapa tahu si empunya mencarinya. Namun saat dirinya hendak pergi, suara lembut seorang perempuan memanggilnya.

" Maaf mas, selendang itu milik saya. Tolong kembalikan"

Anggara membalikkan badannya, detik kemudian menundukkan kepalanya. Dengan tangan gemetar Anggara mengulurkan selendang yang dia pegang ke arah perempuan yang memanggilnya. Si perempuan tersenyum lalu mengambil selendangnya.

" Terima kasih, maaf kangmas siapa ya? Saya baru melihat anda?"

" Saya Anggara, saya batu datang dari pulau seberang!"

Si perempuan mengangguk, lalu membalikkan badan dan perlahan hendak  melangkah menjauh meninggalkan Anggara. Baru berapa langkah si perempuan pergi Anggara membuka suaranya.

" Maaf mbak, nama kamu siapa?"

Si perempuan itu berhenti melangkah. Suasana hening, hanya terdengar suara angin dan percikan air sungai. Tanpa membalik badan si perempuan menjawab pertanyaan Anggara. Lalu melangkahkan kembali kakinya.

" Nama saya Sumirah"

"Sumirah..."

Anggara tersemyum sambil menggumam saat Sumirah telah pergi meninggalkannya.

" Apa kita akan berjumpa kembali Sumirah?"

Anggara nelangkahkan kembali kakinya meninggalkan sungai. Tanpa dia sadari seseorang tengah bersembunyi dibalik pohon, menatap tajam kearah Anggara. Kukunya mencengkeram pohon hingga berdarah. Dia adalah Lastri, anak gadis pak Purnomo si kepala desa.

" Jadi ini alasan kenapa kau menolak tawaran bapakku untuk tinggal dirumah kami kangmas Anggara? Apapun dan siapapun itu tidak ada yang bisa mengambilmu dariku. Kau adalah milikku kangmas Anggara!"

Di Rawa Ireng kanjeng ratu Lintang Pethak dan nyai Mutik masih terus mengawasi Sumirah dari pantulan air danau jelmaan rawa ireng.

" Ini adalah persembahan terakhirmu Sumirah, keturunanmu yang ke-25. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, cah ayu!"

Kanjeng ratu memegang sebuah bunga teratai putih di tangannya.

" Mutik!"

Nyai Mutik yang paham lalu mengambil bunga teratai putih dari genggaman sang ratu, lalu melarungnya ke danau.

" Mutik, katakan kepada Sumirah. Dia telah memenuhi seluruh tumbalnya!"

" Baik kanjeng ratu."

"Aku ingin tahu Mutik, apa yang akan dilakukan Sumirah selanjutnya."

" Apa kanjeng ratu akan membiarkan Sumirah bebas?"

" Bebas? Hahahhaha....."

Sang ratu tertawa mengerikan membuat nyali nyai Mutik mengkerut.

" Tak ada kata bebas Mutik! Sumirah telah menjadi milikku selamanya. Aku hanya ingin tahu apakah Sumirah akan melakukan kesalahan yang sama seperti yang kau lakukan dulu"

Sang ratu melirik nyai Mutik, sementara yang dilirik menunduk takut.

" Manusia itu tidak pernah belajar dari kesalahan Mutik. Entah kesalahan yang dibuat dirinya sendiri atau kesalahan dari orang lain. Manusia selalu mengulanginya lagi dan lagi selama berabad-abad. Kesalahan yang dilakukan oleh manusia itu selalu saja sama. Yaitu cinta dan harta!"

Nyai Mutik terdiam tanpa berani menyela ucapan junjungannya.

" Kau lihat pria tadi Mutik? Pria yang bertemu dengan Sumirah dipinggir kali."

" Nggih kanjeng ratu, saya melihatnya."

" Aku melihat cinta dimatanya. Sama seperti saat Parman jatuh cinta padamu dulu. Begitu pula Sumirah, dia juga terlihat jatuh cinta dengan pria yang ditemuinya, Anggara. Apakah Sumirah akan melakukan kesalahan sama seperti mu Mutik. Hahahahaha....!"

Ssssssst...ssssst.....ssst...

Sssssst....sssst....sssst...

Sang ratu sangat bersemangat, sampai-sampai lidah bercabangnya menjulur.

" Jangan kau menghalangi Sumirah Mutik! Cukup kau katakan saja jika persembahan terakhirnya telah aku terima. Aku hanya ingin tahu kemana arah angin takdir Sumirah akan berhembus membawanya!"

" Nggih, siap nampi dhawuh kanjeng ratu"

***
Versi panjangnya silahkan ke KARYAKARSA, TERIMA KASIH😘💕

SUSUK TERATAI PUTIH ( Tersedia Bentuk Novel)Where stories live. Discover now