PERTEMUAN

7K 740 41
                                    

SUSUK TERATAI PUTIH-2
BAB-21

PERTEMUAN

"Fatimah, aku harus pergi bersama pak Purnomo dan warga yang lain untuk mencari warga yang hilang. Menurut info, terakhir kali orang itu berada di pinggir sungai semalam untuk memasang jaring. Kamu berhati-hatilah di rumah, jangan pergi kemana-mana."

Fatimah menganggukan kepalanya, tak lagi bertanya.

"Ingat Fatimah! kau jangan pergi kemana-mana kecuali aku yang mengajakmu pergi. Kau paham Fatimah."

" Iya kak, Fatimah paham."

"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu, ingat pesanku. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Fatimah mencium tangan sang suami, menatap kepergian sang suami. Entah mengapa hatinya tak tenang, seolah akan terjadi sesuatu.

"Astagfirullah!"

Fatimah menggelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran buruknya lalu melangkah kakinya memasuki rumah.

Sementara itu, Anggara, pak Purnomo dan warga yang lain sedang menyusuri pinggiran sungai.

" Pak Pur yakin kalau pak Wage semalam ke sini? "

Seorang warga bertanya kepada kepala desa tersebut. Karena sudah 1 jam lebih mereka mencari tapi tak menemukan apapun. Tak ada petunjuk jika wage pernah kesini.

" Kata istrinya, Wage  semalam kesini. Lagipula... "

Belum sempat kepala desa Kalimas itu menyelesaikan perkataannya, seorang warga berteriak-teriak memanggil warga yang lain.

" Woi, kemari, cepat! "

"Ada apa Man?"

"Ini pak Pur, ini jaringnya Wage kan pak Pur. Ada obor juga!"

Paiman yang memanggil barusan dan dibantu warga lain pun memeriksa serta  melebarkan jaring yang ada di hadapan mereka.

" Apa ini? "

Pak Purnomo mengambil sebuah benda berwarna putih lalu menaruhnya tepat di depan matanya agar lebih jelas.

"Inikan."

Pak Purnomo menggantung kan perkataannya, mencoba memastikan penglihatannya kembali.

"Astagfirullah, ini kulit ular. Benar kulit ular kan nak Anggara?"

Anggara mendekatkan wajahnya ke benda yang dipegang oleh pak Purnomo.

"Astagfirullah. benar pak Pur, ini kulit ular!"

Wajah Anggara memucat, dirinya teringat dengan ular hijau yang dia lihat di semak-semak depan rumahnya semalam.

"Nak, nak Anggara ada apa nak, kenapa terlihat khawatir begitu?"

Pak Purnomo bertanya kepada Anggara yang wajahnya tampak khawatir. 

"Astagfirullah, Fatimah!"

Anggara berteriak, lalu segera melangkahkan kakinya, berlari kembali ke rumah tempat istrinya berada.

"Loh, loh, nak Anggara mau ke mana? "

"Maaf pak Pur, saya harus pulang! Assalamualaikum. "

Anggara berpamitan sambil berlari, tidak sopan memang, tapi dirinya harus bergegas untuk menemui istrinya. Perasaan Anggara benar-benar tak enak.

* * *

Di balik pohon seorang perempuan dengan wajah yang tertutup selendang hijau menyeringai dibalik selendangnya. Matanya berubah menjadi mata ular.

" Ayo kita bertemu Fatimah, calon wadah baruku. "
Sssssst... Sssssst.. Sssssst...

Tiba-tiba tubuh Sumirah membungkuk dan terus membungkuk, kulit tangannya menjadi berkeriput.

"Nahh, ayo kita bertemu dan saling menyapa, Fatimah. Hahahaha! "

Suara Sumirah berubah menjadi suara serak khas seorang nenek-nenek. Rambut putihnya tertutup dengan selendang hijau dengan wajah seorang nenek-nenek.

Sumirah yang telah menjelma menjadi wujud nenek-nenek tersenyum mengerikan. Berjalan perlahan ke rumah Fatimah yang mulai sepi karena ibu-ibu yang lain sedang sibuk mengantar nasi kuning dan sebagian lagi sudah pulang.

"Ohooook... Ohooook... Cah ayu. Simbah minta makan nduk, simbah lapar. "

Dengan kepala menunduk Sumirah berbicara sambil menyeringai. Fatimah yang memang berhati lembut dan merasa kasihan dengan nenek bungkuk di hadapannya itu segera berlari kedalam rumah untuk mengambilkan nasi.

"Sebentar mbah, saya ambil makanan dulu."

Bergegas Fatimah masuk ke dalam dapur mengambil nasi kuning dan lauk pauk lalu berlari kecil menemui kembali nenek jelmaan Sumirah.

"Ini mbah, ini ada nasi kuning."

Fatimah yang baik hati tanpa ragu menyodorkan sepiring nasi kuning lengkap dengan lauknya itu.

"Nasi kuning ya cah ayu. Harumnya enak sekali."

"Iya mbah, ini syukuran pernikahan saya mbah,  Silahkan dimakan."

"Pernikahan ya cah ayu."

"Iya mbah, Saya sudah menikah 3 minggu yang lalu."

"Sudah hampir sebulan ternyata. "

Sumirah bergumam, tangannya yang bergetar karena rasa cemburu dia ulurkan untuk menerima nasi kuning yang disodorkan padanya.
Senyuman mengerikan terbit di wajah tuanya.

" Fatimah! "

"Kak Anggara? "

Krompyang.....!

Terdengar suara piring terjatuh saat Fatimah pandangannya beralih kearah suami yang memanggil namanya.

"Fatimah, kau tak apa-apa sayang?"

Anggara bergegas menemui istrinya. Menelisik setiap inci tubuh sang istri. Takut sesuatu telah melukai nya. Sementara itu Fatimah tersipu saat mendengar suaminya itu menyebutnya sayang.
Anggara bernafas lega saat istrinya baik-baik saja.

" Loh, apa ini Fatimah?"

Anggara tanpa sengaja kakinya menginjak piring dan nasi kuning yang tercecer di tanah.

" Tadi ada nenek-nenek yang minta makan kak. Jadi Fatimah memberinya makanan. "

"Nenek-nenek?"
Fatimah menganggukkan kepalanya.

" Kau kenal siapa nenek Itu Fatimah? "

" Tidak kak, Fatimah kan baru di sini dan belum hafal warga sekitar sini. "

Anggara membuang nafas kasar, lalu mengajak istrinya masuk ke rumah.

"Ayo kita masuk Fatimah. Ada yang ingin aku katakan padamu."

"Emmmmm! "

Fatimah menganggukkan kepalanya dan hanya bisa menuruti perintah suaminya untuk masuk ke dalam rumah.

Di balik pohon lagi-lagi  Sumirah bersembunyi, masih dengan wujud nenek tuanya. Lidah bercabang miliknya menjulur, mata pupil ularnya menatap tajam ke arah rumah Anggara dan Fatimah.

"Fatimah! aku membencimu! "

Sssssst.... Sssssst.... Sssssst...

SUSUK TERATAI PUTIH ( Tersedia Bentuk Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang