0.1. Sedikit tentang Luca

5.3K 320 31
                                    

Apa yang membuatmu bahagia? Memiliki banyak teman? Keluarga yang hangat? Atau menjadi kaya raya dan memiliki banyak uang? Jika bisa, pasti ingin mendapatkan ketiganya sekaligus 'kan? Tapi, bisa juga tidak, karena setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk bahagia.

Jam istirahat sudah berdering beberapa menit yang lalu, jika yang lain akan pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka. Berbeda dengan anak laki-laki yang kini sibuk dengan barang jualannya.

"Luca, yang ini berapa?" Tanya seseorang.

Si pemilik nama yang dipanggil pun menolehkan kepalanya ke asal suara, menatap benda yang dipegang oleh teman sekelasnya itu. "Itu tujuh ribu," jawabnya.

"Mahal amat," protes Rani, cewek itu meletakkan kembali benda yang semula ia pegang.

"Boleh ngutang dulu kok."

"Yang bener?" Tanya cewek itu lagi, raut wajahnya berubah saat Luca berkata demikian.

"Iya, ambil aja, tapi jangan lupa dibayar," kata Luca dengan santai, namun tangannya mulai mencatat barang yang cewek itu ambil.

Siapa yang tak kenal sosok Luca di sekolah ini? Anak laki-laki yang suka berkeliling kelas ke kelas dengan menawarkan barang dagangannya, dan bebas jika ingin hutang dulu kala istirahat tiba. Hampir semua orang mengenalnya.

"Oke, makasih Ka!" Rani memberikan jari jempolnya pada Luca, lalu menjauh dari sana.

Sedangkan Luca geleng-geleng kepala melihat tingkah salah satu teman sekelasnya itu, Rani bukanlah satu-satunya orang yang bersikap demikian.

"Guys! Ini nggak ada yang mau beli lagi? Kalo nggak gue mau keliling!" Pekiknya, beberapa orang yang ada di dalam kelas menggelengkan kepalanya tanda tidak ada yang mau utang lagi padanya.

"Oke, thanks. Yang masih punya utang, jangan lupa bayar ya," ujarnya lagi mengingatkan.

Cowok itu pun bergegas merapikan dagangannya kembali dan mulai keluar dari kelas. Bukan, Luca tidak menjual makanan seperti kue yang akan dijajankan. Tetapi ia menjual alat tulis seperti pulpen, pensil, penggaris dan lain-lain. Terdengar sepele, tapi siapa sangka jika bisnis kecilnya itu membantu orang lain.

Kebetulan di rumah, ayah dan ibunya memiliki warung, jadi sebagai anak berbakti ia membantu orang tuanya berjualan. Walau ujung-ujungnya, uang hasil jualannya itu tidak akan Luca berikan kepada mereka, melainkan untuk dirinya sendiri. Lumayan katanya, ya walau banyak teman-temannya yang utang.

Kata mereka, Luca adalah penyelamat. Saat pulpen mereka habis di tengah mereka yang masih mencatat materi, ada Luca yang bisa menolong mereka.

"Ka, ke kantin aja yok." Lio, teman dekat Luca itu merangkul dirinya dari samping, dengan malas Luca melepaskan tangan yang bertengger di bahunya itu pelan.

"Gue mau jualan dulu, lo aja yang ke sana," tolaknya mentah-mentah, daripada ke kantin, ia memilih untuk berjualan saja, lebih menguntungkan.

Sementara Lio menghela napas, selalu saja begitu jawaban dari Luca. Temannya ini adalah salah satu spesies aneh yang ia temui. Terkadang Lio itu merasa kasihan dengan temannya ini, berjualan namun banyak yang berutang. Bukannya untung, malah buntung.

"Justru itu Ka, kalo lo ke kantin. Otomatis 'kan banyak orang tuh. Nah lo bisa jualan di sana, iya 'kan?"

Luca tampak berpikir kemudian mengangguk-angguk paham, membenarkan ucapan Lio, mengapa tak pernah terpikirkan dati dulu? "Iya juga ya Yo? Kadang otak lo berguna juga ya."

Lio bersedekap dada dengan sombong. "Lo beruntung punya temen kayak gue Ka."

Setelah itu mereka berjalan beriringan menuju kantin, dengan Lio yang kembali merangkul Luca di sampingnya. Di balik wajah ceria yang selalu Luca perlihatkan, anak itu memendam banyak luka di hatinya. Hanya Lio yang tahu, seberapa jauh perjuangan Luca untuk tetap baik-baik saja sampai saat ini.

"Nanti kalo laku banyak, gue minta traktir ya?" Celetuk Lio, sementara Luca hanya mengangguk mengiyakan. Lio memang seperti ini, selalu mencari kesempatan dalam kesempitan.

***

Seharusnya Luca sudah sampai rumah saat ini, namun karena menunggu Lio yang merupakan anggota pramuka itu, dirinya jadi pulang terlambat. Bukan tanpa sebab, Luca tidak bisa mengendarai motor sehingga dirinya harus menebeng setiap hari pada Lio.

Sebenarnya bisa saja ia pulang terlebih dahulu, dengan memesan ojek online ataupun naik bus, namun ia merasa tidak enak karena tiap hari sudah menyusahkan Lio setiap hari. Jadi menunggu sampai Lio selesai latihan, adalah pilihannya.

"Maaf, lo jadi nunggu lama Ka," ujar Lio, lagi-lagi ia merasa kasihan pada Luca yang harus menunggu dirinya. Ia sudah meminta anak itu untuk pulang dan tidak menunggunya, tapi Luca lebih keras kepala dari yang dikira. Lihat sekarang, pasti Luca kelelahan, terlihat dari wajahnya yang sedikit pucat dan terlihat lemas.

"Kayak sama siapa aja sih Yo, santai aja." Luca menepuk pundak Lio dengan pelan, sebelum ia memakai helmnya dan naik ke atas motor. Padahal yang di lakukan disekolah tidak melakukan hal berat, tapi kini ia merasa lemas fan dadanya terasa sakit.

Luca kira, dirinya akan baik-baik saja setelah menunggu beberapa saat. Namun, sesuatu yang ia tahan sedari tadi justru bertambah parah sekarang. Kepalanya terasa pusing, detak jantungnya berdegup dengan cepat diiringi rasa nyeri yang menjalar sampai lehernya.

Ia meremas seragam Lio dengan erat saat di perjalanan, Luca sudah tidak kuat, jika harus dilanjutkan, ia takut membahayakan dirinya fan orang lain nanti. "Terhenti dulu Yo, dada gue sakit," lirihnya pelan.

Lio yang merasakan seragamnya di remas dan suara lirih Luca pun menghentikan motornya di tepi jalan. Ia langsung membantu Luca membuka helmnya dan duduk di pinggir trotoar. Keadaan temannya itu tambah parah dibandingkan terakhir ia lihat tadi.

"Di mana obat lo?" Tanya Lio, tangannya bergerak mengambil tas di punggung Luca dan mulai membongkar isi tas tersebut, mencari kotak obat milik Luca. Perasaan Lio tak salah, Luca pasti sudah kesakitan sejak tadi.

Sebisa mungkin Lio tidak panik, ia dengan cepat memberikan sebutir obat pada Luca tanpa air. Lio mengusap punggung tersebut, sedangkan Luca menunduk dengan memejamkan matanya sembari menunggu obat itu bekerja. Walau sudah beberapa kali Lio dihadapkan oleh keadaan seperti ini, dirinya selalu takut terjadi hal buruk pada Luca.

"Udah mendingan? Kuat berdiri nggak?" Tanya Lio saat Luca menegakkan tubuhnya yang terlihat masih mengatur napasnya itu.

"Kuat kok, makasih Yo," kata Luca dengan lemah. Wajahnya masih terlihat pucat saat ini, dadanya sudah tidak sesakit tadi dan kini hanya menyisahkan lemas pada tubuhnya. Dengan sekuat tenaga ia mulai memakai helm lagi dan naik ke atas motor.

Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, kumandang adzan Maghrib pun terdengar saat mereka masih di perjalanan. Luca berharap, sampai rumah semuanya akan baik-baik saja. Karena sungguh, tenaganya sudah habis akibat serangan tadi.

[]

Aku republish dulu ya, soalnya aku lupa alur ceritanya, sambil direvisi juga. Kalian juga mungkin udah lupa sama alurnya kayak apa🙏

Selamat hari raya idul Fitri ya, minal aidzin wal faidzin 🙏🙏

Lampung, 02092023

Hi, Luca ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang