1.2. Perihal masa lalu

1K 138 6
                                    

Luka terbesar didapat dari orang terdekat, mungkin ungkapan tersebut valid dengan apa yang Luca rasakan saat ini. Tak perlu jauh-jauh, contohnya sang ayah dan kakaknya lah yang banyak memberikan luka.

Memang, terkadang Luca merasa marah kepada mereka, mengapa mereka tidak bisa memahami dirinya. Namun, Luca sadar bahwa tidak semua orang harus memahami dirinya. Dibandingkan rasa bencinya kepada mereka, Luca lebih jauh merasa benci kepada dirinya sendiri.

Luca benci dirinya yang lemah, Luca benci dirinya yang tak berguna. Ia tidak terlalu pandai dalam hal akademik, terakhir kali ia mendapatkan peringkat ketiga dikenaikan kelas lalu, dirinya juga tak pandai dalam hal non-akademik.

"Semester ini nilai gue harus lebih besar dari yang kemaren. Gue harus masuk eligible dan lolos SNMP!" Itu tekatnya setiap semester, nilainya harus terus meningkat agar memudahkan dirinya nanti, jika kemarin ia peringkat ketiga, kali ini ia harus ke dua atau jika bisa ia ingin peringkat satu.

Hari ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang, setelah menjalani perawatan selama satu Minggu di rumah sakit. Wajahnya tak sepucat waktu itu, namun terlihat jelas jika wajah penuh kesedihan terpatri.

Hubungan antara keluarganya masih renggang, Yuna maupun Dimas terlihat saling menghindar satu sama lain semenjak kejadian itu. Luca merasa sedih, karena menurutnya keduanya bertengger gara-garanya.

"Ka, jangan ngelamun." Yuna yang melihat sang anak sedari tadi melamun pun menegur.

Luca tersentak kaget di tempatnya, ketika suara sang ibu mampu mengembalikan kesadarannya. Lantas ia mengangguk sebagai jawabannya seraya mengeratkan jaket yang ia kenakan.

"Kuat jalan 'kan? Kalo nggak, Bunda ambilkan kursi roda," kata Yuna.

Luca menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Aku kuat kok Bun. Bunda lupa aku sekuat apa?"

Yuna tersenyum hangat, ada perasaan senang melihat Luca yang sudah jauh lebih baik daripada kemarin-kemarin. Ia tahu bahwa Luca adalah anak yang kuat, jauh sebelum dilahirkan anak itu sudah banyak berjuang.

Wanita itu segera menenteng tas yang berisi keperluan Luca selama di rumah sakit, diikuti Luca yang berjalan di samping sang ibu. Lagi-lagi Luca merasa sedih, karena tidak ada sosok sang Ayah yang menjemput kepulangannya.

"Kamu kenapa Ka? Kalo ada apa-apa cerita sama Bunda, jangan dipendem sendiri." Karena tak tahan melihat wajah murung Luca, akhirnya Yuna bertanya setelah mereka sampai rumah.

Luca yang duduk di pinggiran kasurnya itu mengangkat kepala, menatap Yuna yang juga menatapnya. "Bun, aku nggak suka Bunda sama Ayah berantem hanya gara-gara aku."

Yuna tahu, pasti Luca akan membahas ini nantinya. Wanita itu menghela napas pelan, terlihat tidak mau untuk membahas masalah ini.

"Bunda sama Ayah nggak berantem kok, cuma ada masalah kecil aja. Kamu jangan mikirin yang nggak-nggak, bukan salah kamu," jelas Yuna, walau kenyataannya ia dan sang suami masih belum mau bertukar sapa, kecuali bertanya hal seperlunya saja.

"Dalam agama, kita nggak boleh musuhan sampe tiga hari, tapi Bunda sama Ayah udah lebih dari itu. Aku harap, Bunda sama Ayah cepet baikan ya?" Tutur Luca, ia tidak percaya pada Yuna yang berkata jika itu adalah hal kecil, padahal jelas sekali jika perdebatan waktu lampau tersebut menyangkut cerita di masa lalu.

"Iya, sekarang kamu istirahat ya. Kalo butuh apa-apa, kamu panggil Bunda aja." Tangan Yuna terulur untuk mengelus rambut sang anak, sebelum ia memutuskan untuk pergi dari sana. Namun sebelum ia benar-benar pergi dari sana, suara Luca menghentikan langkahnya.

"Bun, aku tunggu Bunda siap buat ceritain apa yang terjadi di masa lalu."

***

Hari ini, Luca memutuskan untuk masuk sekolah, lagipula ia sudah beristirahat selama satu Minggu lamanya, sudah cukup untuk mengembalikan tenaganya yang sempat layu.

Lio tengah berkemah saat ini, jadi Luca mau tak mau ikut dengan Agam. Ia tidak mungkin meminta tolong pada sang ayah untuk mengantarkan, mengingat hubungan mereka yang tak pernah baik. Sedangkan jika ia meminta tolong pada Yuna, tidak mungkin, wanita itu juga tidak bisa mengendarai motor sepertinya.

"Agam, Tante titip Luca ya? Nanti diganti uang bensinnya, cuma beberapa hari ini kok sampe Lio pulang dari kemah," tutur Yuna pada Agam.

Agam mengangguk seraya tersenyum tipis. "Iya Tante. Nggak perlu sungkan, aku sama Luca 'kan temen."

Yuna balik tersenyum hangat, lalu ia merapikan dasi Luca agar lebih rapi. "Nanti pulang sekolah nggak usah ke warung ya? Kamu di rumah dulu aja."

"Iya, aku berangkat Bun. Assalamualaikum," jawab Luca yang setelahnya ia menyalimi tangan sang ibu.

"Waalaikumsalam, hati-hati di jalan."

Luca menghela napas pelan, masih merasa trauma dengan yang waktu itu. Di mana ia di bonceng oleh Agam dan di bawa ngebut oleh sang empu, mengingatnya saja sudah lemas, jangan sampai ia yang baru keluar dari rumah sakit ini harus kembali terpenjara di sana, hanya gara-gara di bawa ngebut oleh Agam.

"Tenang, gue nggak ngebut kok. Gue tau lo masih sakit," ujar Agam yang mengetahui kegelisahan Luca. Agam jelas ingat, karena waktu itu dirinya memang sengaja.

Luca mengangguk kikuk, lalu naik ke motor besar milik Agam. Walau masih ada keraguan, semoga saja ucapan Agam bisa ia pegang.

"Ibu lo itu, emang sesayang itu ya sama lo?" Tanya Agam di perjalanan, ia benar-benar membawa sepeda motornya dengan pelan dan sesekali melirik Luca lewat spion.

"Iya, setiap ibu emang kayak gitu 'kan?" Jawab Luca, Yuna memang samgat menyayanginya. Dan bukannya setiap ibu pasti akan sayang kepada anak-anaknya?

Agam mengangguk paham, ia sudah melihat beberapa kali Yuna mencurahkan kasih sayangnya pada Luca, wanita itu benar-benar menyayangi Luca. "Lo beruntung banget punya ibu kayak Tante Yuna."

"Iya, gue ngerasa beruntung punya Bunda. Dia salah satu alasan gue buat bertahan selama ini." Luca tersenyum, tak menampik jika ia merasa menjadi anak paling beruntung seperti apa yang Agam ucapkan tadi, jika tidak ada Yuna di sampingmu, mungkin sejak dulu ia sudah menyerah.

"Ka, lo udah pernah kehilangan belum?" Tanya Agam lagi, mengganti topik pembicaraan.

Luca terdiam, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Pernah, dulu."

"Gimana rasanya? Sakit banget?" Tanya Agam, cowok itu memelankan kendaraannya agar bisa mendengar jawaban Luca.

"Iya, rasanya sakit banget. Sampe rasanya gue juga pingin ikut menghilang." Kehilangan itu menyakitkan, tak mungkin jika rasanya tak sakit sekali. Luca pernah merasakannya.

Agam menarik bibirnya ke atas, keasyikan mengobrol sampai mereka tak sadar jika sudah sampai sekolah.

"Boleh gue cerita?" Tanya Agam pada Luca setelah mereka turun dari motor dan memutuskan untuk duduk di bangku panjang yang tak jauh dari area parkir.

Luca mengangguk, tak menolak jika Agam akan bercerita. Ia akan menjadi pendengar yang baik.

"Gue punya Kakak, cowok. Tapi sayangnya dia nggak seberuntung anak lain, yang bisa dengan bebas ngelakuin apapun yang dia mau. Dia dipaksa untuk jadi sempurna, nggak boleh lemah dan harus selalu menjadi kebanggaan. Dia sakit, sakit parah dan sayangnya orang tua gue terlalu abai dan egois. Saat itu, gue cuma anak kecil yang nggak bisa bantu apa-apa buat Kakak. Gue cuma bisa liat dia kesakitan tanpa bisa bantu selain nemenin dia di sampingnya. Sampe akhirnya, dia ngerasa lelah. Dia capek nunggu sesuatu yang diharapkan nggak dateng-dateng dan memilih buat nyerah. Seperti yang lo bilang tadi, kehilangan itu sangat menyakitkan sampe rasanya kita juga pingin ikut, gue ngerasain itu sampe sekarang."

Luca mendengarkan dengan seksama cerita Agam, ia tak menyangka jika Agam mempunyai sisi rapuh seperti ini. Pasti rasanya sulit sekali berada di posisi Agam waktu itu, mendengar ceritanya bisa Luca tebak jika hubungan keduanya sangat erat.

"Dan, kakak gue lah alasan gue ada di sini sekarang. Gue mau bales dendam pada orang yang buat kakak gue nyerah. Gue harus ambil sesuatu yang udah kakak gue tunggu, tapi nggak pernah dateng," lanjut Agam, maniknya sudah berkaca-kaca menahan tangis, tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Sampai kapanpun ia tidak akan memaafkan orang yang sudah membuat kakaknya pergi.

[]

Kalo votenya cepet 100, aku juga bakal cepet up sih

Lampung, 22092023

Hi, Luca ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang