2.4. Layaknya saudara

1K 114 8
                                    

Masalah yang akhir-akhir ini terjadi, membuat Luca stress. Luka yang dulu belum sempat sembuh, kini bertambah dan menimpun setiap harinya.

Luca itu termasuk orang yang mudah kepikiran, maka dari itu kalimat apa saja yang masuk dalam rungunya bisa membuat dirinya terus kepikiran sampai berhari-hari.

"Sebenarnya, aku ini anak Ayah bukan?" Monolognya, bertanya-tanya mengapa Dimas pilih kasih selama ini kepadanya. Bahkan Luca lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang hangat dengan sang ayah, atau mungkin memang tidak pernah.

"Kapan sembuhnya sih? Gue beneran capek," monolognya lagi, karena banyak masalah yang menganggu kepikirannya, hal tersebut mempengaruhi keadaannya sehingga sesaat perdebatan yang terjadi, Luca kembali drop, namun tak separah yang kemarin.

Benar kata Dimas, dirinya yang masih mudah justru sakit-sakitan. Kalah dengan Dimas yang masih gagah di usianya yang sudah hampir kepala lima. Ia sudah seperti jompo yang tidak bisa melakukan apapun.

"Sial, gue lemah banget sih," keluhnya pada ruang yang sunyi. Luca tak pernah bisa mengeluhkan segala keluh kesahnya pada sang ibu sekalipun, ia tak mau wanita itu merasa bersalah karena dirinya mengeluh.

Detik demi detik terus berjalan, ia masih betah dalam pikiran yang menghanyutkannya, sampai tak menyadari Lio berada di sana. Entah sejak kapan pemilik senyum secerah mentari tersebut ada di sana, tapi yang penting Lio mendengar kalimat terakhir yang Luca ucapkan.

"Lo nggak lemah Ka, kalo lo lemah, pasti nggak akan sejauh ini lo melangkah," ujarnya, kakinya perlahan mendekati Luca yang nampak kaget akan suaranya. Anak itu membelakkan matanya kaget dan memandang dirinya penuh tanya, seolah menanyakan kapan Lio datang.

Lio menghela napas pelan. "Makanya jangan terlalu banyak ngelamun. Gue dateng aja nggak kerasa."

Luca memberikan senyum tipisnya, kehadiran Lio di sini sedikit membuat dirinya melupakan sejenak pikiran yang menganggu. "Lo-nya yang dateng kayak hantu, untung jantung gue nggak kaget."

Lio mendudukkan dirinya di kursi, lalu meletakkan tas punggung yang ia bawa ke atas kasur. Selain menjenguk Luca, Lio datang kemari untuk memberitahukan tugas sekolah selama anak itu tidak sekolah.

"Lo kapan pulangnya Ka? Anak-anak banyak yang nyariin lo."

Luca yang tengah membuka buku itu menghentikan kegiatannya sejenak, sebelum ia menggelengkan kepalanya. Saat ini Lio belum tahu perihal dirinya yang harus operasi pemasangan balon pada jantungnya.

"Kayaknya gue bakal terdampar di sini sedikit lebih lama lagi. Sebenarnya ya gue pingin cepet pulang lah Yo, gue pingin sekolah buat nagihin utang mereka yang belum bayar," katanya, ia tersenyum miris mengingat nasib yang menimpa dirinya.

Walau terkadang ia malas untuk berangkat sekolah, Luca menjadi rindu suasananya ketika seperti ini. Ia rindu disaat dirinya berjualan keliling sekolah menjajakan pulpennya, ia rindu canda tawa teman sekelasnya, ia rindu pada mereka yang berhutang kepadanya.

"Ka, lo bisa cerita sama gue." Lio tentu saja melihat wajah murung sahabatnya, Lio sangat tahu jika Luca berada di titik terendahnya kembali.

Luca mengangkat kepalanya, ia meletakkan buku yang ia genggam kepangkuannya. "Lio, kalo semisalnya gue kalah dalam pertarungan ini, lo bakal kecewa nggak sama gue?"

"Lo nggak akan kalah, dan kalo semisalnya kalah gue akan sangat kecewa sama lo," jawab Lio, dapat ia lihat gurat-gurat lelah di wajah Luca.

Luca mengangguk, jawaban Lio sudah jelas untuknya, "tadi Ayah sama Bunda berantem lagi sama gue. Gara-gara gue nolak sementara waktu operasinya. Gue cuma belum siap aja Yo, gue takut ngecewain mereka."

Kedua manik Lio memicing saat Luca membahas tentang operasi, pantas saja Luca terlihat lesu, ternyata ini alasannya. "Lo harus operasi lagi? Dan kenapa juga lo nolak?"

"Maaf baru kasih tau lo sekarang, maunya gue rahasiain ini sampe gue selesai operasi nanti, tapi kayaknya gue nggak bisa. Dokter Rendi bilang, gue harus operasi masang balon, operasinya nggak sampe belah dada gue lagi sih, tapi gue takut gagal Yo. Transplantasinya aja gagal, gue takut kemungkinan buruknya. Jadi gue butuh waktu untuk mempersiapkannya," jelas Luca.

"Ka, lo bahkan belum ngelakuin, dan lo udah bilang takut. Di mana diri lo yang berani berkali-kali di bedah dulu? Kata lo operasi ini nggak sampe bedah dada lo 'kan? Bahkan itu jauh lebih kecil dibandingkan operasi besar lo beberapa tahun yang lalu. Sekarang yang perlu lo pikirin itu diri lo, bukan orang lain. Kalo lo nggak mau buat diri lo sendiri, lo bisa lakuin ini buat gue. Lo harus tetep hidup, karna ada jantung kakak gue di lo!" Ujar Lio dengan tegas.

Luca meremas jari-jarinya-yang sudah menjadi kebiasaannya, "biayanya Yo, gue berpikir ke situ. Udah berapa milyar uang yang udah orang tua gue keluarin, tapi gue nggak sembuh-sembuh. Gue nggak mau kalo sampe orang tua gue nimjem uang ke bank. Gue nggak mau itu terjadi."

Lio kembali menghela napas pelan, "lo nggak perlu mikirin itu Ka, selalu ada rezeki untuk orang yang mau berusaha. Lo hanya perlu menjalani, untuk biaya lo nggak usah pusing, orang tua lo juga pasti tau apa uang harus mereka lakukan. Mereka nyuruh lo untuk bertahan, itu artinya mereka juga siap dengan konsekuensi yang mereka hadapi ke depannya, salah satunya tentang biaya. Kalo mereka nggak mau lo bertahan, nggak mungkin lo masih hidup sekarang."

Luca menatap Lio lamat, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Kalo gitu, yang harus gue lakuin tetap berjuang 'kan? Biar lo atau yang lain nggak kecewa. Gue akan berjuang sebisa gue Yo. Sampe kalian nyuruh gue untuk berhenti."

"Gue nggak akan nyuruh lo berhenti, camkan itu."

Luca tertawa kecil, berusaha membuat suasana menjadi berwarna. "Iya. Gue tau kalo gue pergi lo nggak punya temen 'kan?"

"Mana ada, temen gue banyak ya. Ada Agam sama anak-anak Pramuka, justru lo yang nggak punya," sangkalnya, menyombongkan diri bahwa ucapan Luca tidak benar. Kedekatannya dengan Agam, sedikit membuat Lio tidak kesepian saat sekolah.

"Bener juga sih, kalo aja lo nggak tau gue sakit. Mungkin dulu lo masih jahilin gue aja sampe sekarang."

Lio meringis mendengarnya, lagi-lagi ia harus mengingat betapa nakalnya ia kepada Luca dulu. "Mungkin udah jalan takdirnya kayak gini Ka. Udahlah nggak usah bahas itu, gue malu ingetnya."

"Seandainya bisa diubah, bakal jadi apa saat ini? Pasti bakal beda cerita 'kan?"

"Iya, kalo bisa diubah pun gue lebih suka versi sekarang. Karena belum tentu perubahan itu gue bisa liat lo sekarang ini."

Hati Luca menghangat mendengarnya, ia merasa sangat beruntung bisa mengenal dan bertemu dengan Lio. Karena keberadaan anak itu, membuatnya bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki saudara.

[]

Lampung, 26102023

Hi, Luca ✓Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin