0.8. Bullying

1.4K 168 16
                                    

Selama ini, Luca selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Ia harus mengutamakan kebahagiaan orang lain terlebih dahulu sebelum dirinya. Selagi dirinya bisa, ia akan melakukannya.

Pagi hari ini, rasanya Luca tidak mau menginjakkan kakinya ke sekolah. Kepalanya penuh dengan pikiran negatif yang tidak membiarkan dirinya memikirkan hal lain, salah satunya adalah perkataan sang ayah kemarin yang paling melekat di benaknya.

Dibandingkan kecewa dengan Dimas, Luca lebih kecewa dengan dirinya. Ia tidak pernah memberikan kebahagian pada keluarganya, ia tidak pernah membuat keluarganya bangga. Yang ada, dirinya hanya membuat mereka susah.

Kemarin, saat Yuna bertanya tentang hasilnya, Luca hanya menjawab bahwa semuanya baik-baik saja, dan menolak saat sang ibu ingin melihat surat hasil tesnya, Luca beralasan bahwa surat itu ketinggalan di rumah sakit. Luca tahu pasti ibunya curiga, biarlah, Luca tidak siap mengatakan kemungkinan buruk yang terjadi kepada ibunya.

"Lutfi, gue mau beli pen dong. Ada nggak?" Tanya seorang siswi, menghentikan langkah Luca yang berjalan beriringan dengan Lio.

"Jangan panggil gue Lutfi, kayak cewek," protes Luca saat ada orang yang memanggil namanya dengan nama tengahnya itu. Ia tidak suka, karena menurutnya Lutfi itu nama untuk perempuan.

Siswi itu memutar bola matanya malas. "Sama aja geh, ada nggak pennya?"

"Terserah lo deh. Gue lupa nggak bawa. Nggak ada, maaf ya," jawab Luca yang merasa tidak enak dengan siswi di depannya ini.

"Ya udah deh, makasih."

Luca hanya mengangguk sekilas, membiarkan siswi tersebut pergi dari pandangannya.

"Tumben bisa lupa? Biasanya 'kan selalu lo bawa di tas," celetuk Lio, tidak biasanya Luca seperti ini, karena biasanya jualan temannya ini selalu ada memenuhi tasnya.

"Kemaren tas gue di cuci sama Bunda, gue lupa masukin lagi barang-barangnya." Karena banyak pikiran, Luca sampai lupa dengan barang jualannya tersebut.

"Terus, gimana sama check up kemaren? Hasilnya gimana?" Tanya Lio, ia ingat jika kemarin adalah jadwal kontrol temannya ini.

"Hasilnya baik kok," jawab Luca, tentu saja ia berbohong kepada Lio saat ini, tidak berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Lo, nggak lagi bohong 'kan?" Tanya Lio penuh selidik, ia tidak percaya dengan apa yang Luca ucapkan barusan, Lio tahu ada yang Luca sembunyikan darinya.

"Lo nggak percaya?"

Lio mendengus kesal, bukannya diberika jawaban, Luca justru balik bertanya kepadanya. "Nggak, gue nggak percaya."

Luca tertawa pelan, jujur saja ia tidak mau membahas penyakitnya saat ini. "Ya udah kalo nggak percaya."

Lio ingin protes, kadang-kadang Luca senang bercanda saat ia bertanya serius. Tapi belum sempat ia membuka suara, Agam datang dan mengurungkan niat Lio.

"Pagi temen-temen gue," kata Agam menyapa, kini ia berada di tengah-tengah mereka dengan tangan merangkul keduanya.

"Pagi juga Gam," sahut Luca dan Lio secara bersamaan, hari ke hari ketiganya memang semakin dekat. Mereka pun berjalan bersama menuju kelas, melupakan topik pembicaraan yang belum selesai dibahas antara Luca dan Lio tadi. Mungkin pulang sekolah nanti, Lio akan meminta penjelasan dari Luca.

***

"Ada yang namanya Luca di sini?"

Luca yang tengah menidurkan dirinya di kursi yang ia tata, dengan tas yang dijadikan bantal tersebut harus membangunkan dirinya, saat rungunya mendengar namanya dipanggil. Ia mengerutkan keningnya, melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.

"Saya Luca, ada apa ya?" Sahutnya. Kini ia tengah sendiri karena Lio dan Agam pergi dengan urusannya masing-masing, akhir-akhir ini Lio memang sibuk karena akan kemah, sementara Agam masih di UKS, ikut menangani siswi yang pingsan tadi.

"Ikut saya sebentar," kata orang tersebut. Walau ragu, Luca pun mengikuti orang yang merupakan kakak kelasnya.

Luca di bawa ke gudang sekolah, sampai sana tidak hanya mereka berdua saja yang ada, tapi ada dua kakak kelasnya yang juga ikut serta. Perasaannya mendadak tidak enak, untuk apa mereka memanggilnya ke sini? Apa Luca ada salah dengan mereka? Seingatnya tidak, dan ini baru pertama kalinya mereka berhadapan.

"Ini 'kan anak yang suka nawarin pen waktu istirahat 'kan? Yakin lo bawa dia?" Celetuk Danar, salah satu orang yang sudah menunggu di sana.

Hito, orang yang membawa Luca tersebut berdecak pelan. "Gue yakin dia punya banyak uang."

Mendengar itu, Danar tersenyum dan berjalan mendekati Luca, ia tepuk bahu tersebut beberapa kali sebelum merangkul Luca dari samping. Luca yang mendapatkan perlakuan tersebut segera menghindar dari rangkulan Danar. Ia bisa membaca situasi, bahwa posisinya tengah terancam saat ini.

"Santai aja dong, jangan tegang." Suara lain menyahuti, Fito mendorong tubuh Luca yang menjauh dari Danar agar mendekat kembali.

Danar tersenyum remeh. "Gue denger lo punya warung di rumah 'kan? Terus lo jualan juga di sekolah. Itu artinya lo punya duit banyak dong?"

Luca diam di tempatnya, ia menyesali keputusannya untuk mau saja mengikuti Hito sampai di sini. Ia ingin kabur, namun tidak semudah kelihatannya. Bisa saja mereka berhasil menangkap dirinya dan malah menghajarnya.

"Emang kenapa kalo gue punya banyak uang? Iri?" Kata Luca, seolah menantang kakak kelasnya ini, padahal dalam hati ia sangat ketakutan.

Danar tertawa remeh di tempatnya, ada nyali juga adik kelasnya satu ini dengen berkata seperti itu. "Iya, gue iri. Jadi sekarang, gue minta duit lo."

Setelah berkata seperti itu, Danar memberikan kode kepada teman-temannya agar melaksanakan tugasnya, yaitu memegangi kedua tangan Luca agar Danar bisa dengan mudah mengambil uang anak itu.

"Lepasin gue s*alan! Gue nggak ada uang!" Luca tentu saja panik dan memberontak, berusaha melepaskan dirinya dari kungkungan kakak-kakak kelasnya tersebut. Tapi jelas tenaganya kalah dari mereka, ia pun memikirkan cara untuk bisa menghentikan aksi Danar, jadi dengan berani ia meludahi wajah Danar yang tengah mencari uang di sakunya.

Total saja, hal itu membuat teman-teman Danar terkejut akan apa yang Luca lakukan, tidak menyangka bahwa Luca berani melakukan hal tersebut.

Sementara itu, Danar memejamkan matanya dan menghentikan kegiatannya itu. Ia menyorot Luca dengan wajah yang merah padam dengan tangan mengelap ludah Luca yang ada di wajahnya, ia tersenyum miring dan tanpa aba-aba memberikan bogeman mentah pada wajah Luca.

Bugh!

"Gue sebenernya nggak mau bertindak kasar, tapi lo nggak mau diajak kerja sama!" Katanya penuh penekanan, sekali lagi Danar memukul perut Luca sampai si korban berbatuk.

Luca memejamkan matanya menahan sakit, pukulan Danar tidak main-main ternyata, ulu hatinya terasa sangat sakit. Hal itu pun dimanfaatkan oleh Danar untuk kembali mencari uang di sakunya, kali ini Luca tidak bisa melawan lagi. Is sibuk dengan rasa sakitnya.

"Lain kali nurut sama gue, kalo lo nggak mau babak belur kayak gini!" Bisik Danar di telinga Luca, ia berhasil mendapatkan uang merah satu lembar di saku anak tersebut. Dan sekali lagi, Danar memukul perut Luca sampai anak itu terduduk di lantai.

Luca meringis sakit, ia menatap kepergian Danar dengan teman-temannya nanar, mereka berhasil mengambil uangnya. Luca mengerang sakit lagi setelahnya. Apa yang harus Luca jelaskan nanti, jika orang rumah tahu ada luka lebam di pipinya akibat pukulan Danar tadi? Pasti akan menambah masalah.

[]

Lampung, 13092023

Hi, Luca ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang