1.8. Jika pergi nanti

1.1K 124 14
                                    

Katanya semua luka pasti ada obatnya, dan katanya luka akan sembuh seiring berjalannya waktu. Tapi entahlah, itu semua hanya katanya. Luca sendiri belum menemukan obatnya sampai saat ini, ia juga belum bisa menyembuhkan lukanya sampai detik ini.

Selepas pembicaraan tidak mengenakkannya dengan Esa, Luca langsung pergi menjauh dari sang kakak. Ia lebih memilih untuk berkeliling di sekitar pantai tersebut untuk mendinginkan kepalanya yang ingin pecah, ia tak mau liburan yang seharusnya menghilangkan stres, justru membuat dirinya semakin tertekan.

Salah satu daya tarik di sini adalah ada tempat iconic yang mirip dengan pulau Santorini di Yunani, Luca tersenyum kecil kala menemukan ibu dan ayahnya tengah berfoto di sana. Tak ingin mengganggu keduanya, Luca pun menjauh dari sana, ia perlu tempat yang sepi untuk dirinya sendiri.

Namun karena tak memperhatikan jalan, Luca menabrak seseorang, sialnya lagi ia menumpahkan minuman yang di bawa orang tersebut, Luca pun langsung meminta maaf atas kelalaiannya pada orang itu.

"Nggak papa, gue juga salah karena nggak liat-liat," kata orang tersebut, tangannya membersihkan tumpahan minuman yang mengotori bajunya.

"Tapi tetap aja gue yang salah, gue ganti minuman lo ya?" Jelas Luca merasa tidak enak hati, ceroboh sekali dirinya.

"Nggak usah, nanti gue beli lagi aja," tolak orang itu lagi.

"Udah nggak papa, gue harus tanggung jawab atas apa yang gue buat." Luca tetap kekeuh ingin mengganti minuman orang yang ia tabrak itu dengan sedikit paksaan. Dan akhirnya, orang itu pun mengangguk mau.

"Makasih, padahal nggak diganti juga nggak papa," kata remaja yang kini sudah mendapatkan minuman barunya, kini justru dirinya yang merasa tidak enak pada orang yang menabraknya tadi.

"Sama-sama, gue juga minta maaf," tutur Luca. Ia yang tadinya berniat untuk menenangkan diri, mengurungkan niatnya karena sekarang ia bersama seorang remaja di sebuah kedai yang ada.

"Ah iya, kita belum kenalan. Gue Juan, salam kenal." Pemilik nama pun mengulurkan tangannya tanda perkenalan, Luca yang melihatnya pun menerima dengan baik uluran tangan tersebut.

"Gue Luca, pake c bukan k, salam kenal juga."

"Nama lo unik, kayak nama western," celetuk Juan saat mendengar nama orang di depannya ini.

Luca tersenyum kikuk. "Sebenarnya itu nama panggilan sih. Nama asli gue Lutfi, tapi gue nggak suka dipanggil itu. Kayak cewek."

Juan ber-oh ria. "Kalo gue lebih suka dipanggil nama asli, nggak suka nama panggilan."

Luca mengerutkan keningnya, jika dilihat-lihat, Juan juga memiliki lesung pipi sepertinya. "Kenapa?"

"Karena sama kayak nama panggilan almarhum Ayah, yaitu Juju. Tapi walau gitu tetep aja semua orang manggil gue Juju, terutama Bunda. Gue nggak suka!" Juan sedikit mempoutkan bibirnya, mengaduk-aduk minuman di depannya random, ia tidak suka dengan nama panggilan yang disematkan padanya, karena sama seperti nama panggilan ayahnya dulu.

Luca sedikit terkejut saat mengetahui bahwa ayah Juan sudah tidak ada, namun saat ia melihat wajah Juan yang merasa kesal, Luca tersenyum simpul. Ia jadi teringat Jio, jika sedang kesal pasti wajahnya seperti itu. Mungkin alasan Juan tak mau dipanggil seperti nama panggilan ayahnya, karena akan teringat pria itu.

"Tau nggak? Gue nggak sukanya kenapa? Karena Ayah gue itu orang jahat. Gue benci Ayah. Pokoknya gue benci dia." Entah sadar atau tidak, Juan berucap demikian, pada orang yang baru saja ia kenalnya, seperti tak peduli pandangan Luca terhadapnya.

"Jangan pikirin omongan gue barusan, anggep aja angin lalu hehe. Lo nggak mesen minum juga Ka?" Lanjut Juan, setelah ia tahu Luca terlihat shock saat ia berkata demikian.

"Ah, nggak, lo enakin aja." Luca memang terkejut atas ucapan Juan, terdengar keterlaluan karena Juan membenci sang ayah yang bahkan sudah meninggal.

"Kayaknya gue pernah liat lo deh, dimana ya?" Gumam Juan, wajah Luca itu terlihat familiar di matanya. Ia seperti pernah melihat Luca sebenarnya, tapi ia lupa di mana. "Sebentar, nama asli lo Lutfi 'kan? Ah gue inget sekarang! Lo yang sering pingsan itu 'kan di sekolah? Iya bukan sih? Yang suka keliling jualin pulpen!" Tebak Juan.

Luca mengerutkan keningnya. "Jangan bilang lo sekolah di SMA 1 Way Halim?"

"Nah itu bener! Lo Lutfi yang itu 'kan! Berarti bener tebakan gue, lo yang sering pingsan itu! Tukang tidur di UKS!" Ujar Juan senang karena tebakannya benar.

Luca menggaruk tengkuknya, mengapa Juan harus mengingatnya sebagai tukang tidur di UKS? Walau benar seperti itu, Luca sering sekali masuk ke sana. "Kenapa lo bisa paham gue sering di UKS?" Tanyanya.

"Ya karna gue juga sering ke UKS, masa lo nggak ngenalin gue sih! Gue itu anaknya Bu Gisa loh!"

"Lo anaknya Bu Gisa? Berarti..." Benar! Luca jadi ingat sekarang. Ia kembali mengingat ucapan Jio waktu lalu, Juan si anak content creator plus motivator seorang mendiang Julian Antama, dengan ibu seorang guru di sekolahnya, anak yang Jio ucapkan itu kini ada di depannya.

"Berarti apa? Berarti gue anaknya pinter? Ya jelaslah hehe, Bunda gue pinter, ya kali gue nggak pinter," timpal Juan saat kalimat Luca menggantung.

Luca menggelengkan kepalanya dan tertawa pelan, Juan ini termasuk anak yang percaya diri, tak seperti dirinya yang pemalu. "Berarti gue Kakak kelas lo."

"Iya juga, harusnya gue panggil lo Kakak atau bang ya?"

"Seenak lo aja. Mau Mas juga boleh."

"Kalo gitu gue panggil Bang Luca aja. Nggak papa?"

Luca mengangguk setuju, setelah itu Juan mendadak minta pamit kepadanya, dengan alasan sudah akan pulang. Luca tak menahan, ia membiarkan yang lebih muda menjauh darinya.

Luca menghela napas pelan, ia menatap minuman Juan yang masih setangah di meja, ia bermonolog pelan. "Kalo lo benci sama ayah lo, gue justru mau kayak ayah lo Ju. Gue mau, walau gue udah nggak ada, nama gue masih inget sama orang-orang."

***

Seharian liburan ke pantai adalah salah satu pilihan yang terbaik, Luca menikmati liburan akhir pekannya bersama keluarganya hari ini, walau harus kembali mendapatkan luka dari Esa.

Luca memilih untuk memejamkan matanya selama perjalanan pulang, mereka pulang malam karena tadi sore melihat sunset terlihat dahulu, untungnya ada mushola di sana, jadi tak perlu khawatir untuk beribadah.

Sepertinya Luca kelelahan hari ini, ia merasa tidak nyaman di area dadanya, kepalanya sudah keliyengan. Ia ingin mengadu pada sang ibu, tapi tidak berani karena saat ini bersama Dimas dan juga Esa. Luca takut mendapatkan kata-kata menyakitkan lagi, jadi ia diam saja dan berpura-pura tidur selama di perjalanan pulang.

"Ka, udah sampe." Yuna mengguncang pelan bahu Luca, sepertinya sang anak kelelahan sampai tertidur di mobil.

Luca mengerjapkan matanya, ia bergumam pelan sebelum keluar mobil dengan gontai.

"Mandi dulu ka, habis itu makan. Jangan dilanjut tidur!" Ucap Yuna ketika Luca langsung berjalan menuju kamarnya, anak itu menoleh kepadanya dan memberikan jari jempolnya.

Luca menuruti ucapan sang ibu, ia segera mandi dan keluar kamar untuk makan malam. Tapi sayangnya, belum sempat sampai di meja makan, tubuhnya sudah limbung terlebih dahulu dan menghantam keramik yang keras. Kegelapan pun menghampirinya.

"LUCA!" Sontak saja hal itu membuat Yuna menjerit keras, begitu juga dengan Dimas dan Esa yang langsung menghampiri.

"Jika kelahiranku membuat mereka sedih, maka jangan biarkan kepergianku juga membuat mereka bersedih."

[]

Yang kepo sama bapaknya Juan, bisa baca Antagonis di Joylada, sudah End, semuanya ada 150 Bab, mantap buat maraton 👍

Lampung, 04102023

Hi, Luca ✓Where stories live. Discover now