1.7. I'm not a thief

1K 119 12
                                    

Dimas menepati janjinya, membawa anggota keluarganya untuk jalan-jalan di akhir pekan. Lebih tepatnya hari Sabtu, agar hari minggunya bisa digunakan untuk istirahat.

Mereka berangkat menggunakan mobil, dengan Esa yang menyupir dan Dimas duduk di sampingnya. Lalu Luca duduk di kursi penumpang bagian kanan, dan Yuna berada di kiri sampingnya.

Musik yang berasal dari radio mobil menemani perjalanan mereka, langit biru di atas seakan mengizinkan mereka untuk bertamasya hari ini. Selama perjalanan, Dimas dan Yuna yang banyak menimpali ucapan satu sama lain, sedangkan Luca seperti biasanya, ia akan diam jika tidak ditanya dan menjawab jika ditanya.

Sampainya di tempat tujuan, Esa tak membohongi perkataannya karena di sini memang indah sekali. Lautnya berwarna biru jernih, pasirnya berwarna putih dan bebas dari sampah. Luca sudah sering mendengar tentang pantai Marina dari teman-teman sekelasnya, mereka mengatakan jika pergi ke sana pasti tidak akan menyesal.

Dan benar saja, Luca tidak menyesal karena sudah jauh-jauh datang ke sini. Tempat ini cocok sekali untuk mereka yang suka berfoto-foto dan menguploadnya ke media sosial. Apalagi untuk kaum aesthetic.

Luca juga tak menyia-nyiakan kesempatan, ia memotret pemandangan di depannya, dengan angin laut yang menyapu wajahnya, terasa menyejukkan walau di atas terik matahari.

"Gue pamer ke Lio deh," gumamnya, lantas ia mengirimkan foto pemandangan laut yang tadi ia potret kepada Lio.

Lio

Gue lagi di pantai|
Kapan lagi 'kan jalan-jalan bareng gini?|

|Mantaplah yang lagi healing👍
|Selamat bersenang-senang bro
|Jangan lupa bawain gue oleh-oleh

Siap, nanti gue bawain pasir plus karang buat lo😁|

|Boleh, pasirnya nanti gue jadiin buat bikin rumah

Luca tertawa kecil melihat balasan dari Lio, setelah kemah satu Minggu lamanya, akhirnya Lio pulang, dan senin depan Luca sudah bisa menyusahkan sahabatnya itu lagi.

"Ka, kamu punya pacar?"

Sang empu langsung menoleh pada sang ibu, hanya ada Yuna bersamanya saat ini karena Dimas dan Esa masih mencari makanan. Luca menggeleng pelan dan menjawab pertanyaan Yuna, "nggak ada."

"Yang bener? Itu kenapa senyum-senyum sendiri?" Tuduh Yuna, karena sejak tadi ia lihat-lihat, Luca fokus pada ponselnya sambil senyum-senyum sendiri.

"Ah ini, aku chatan sama Lio Bun, hehe. Mana ada aku pacar." Luca tersenyum kikuk, jangankan pacaran, mengurus dirinya saja belum bisa. Bagaimana nanti dengan pacarnya? Yang ada ia akan menyusahkan.

"Tapi kalo gebetan ada? Kapan-kapan kenalin Bunda dong," goda Yuna, dibandingkan dengan Esa, Luca memang tertutup soal percintaannya, berbeda dengan Esa yang secara gamblang bercerita dan memperkenalkan kekasihnya itu pada Yuna.

"Kalo gebetan ada Bun, dia itu cantik banget, sampe buat semua cowok klepek-klepek. Aku bakal beruntung banget, kalo sampe dapetin dia," ujar Luca.

"Siapa itu?" Tanya Yuna, penasaran dengan gadis mana yang berhasil mencuri hati sang anak.

Luca mendekatkan dirinya untuk merapat ke sang ibu, lalu membisikkan kalimat ke telinga wanita tersayangnya, "itu Bunda," bisik Luca dengan cengiran khasnya.

Yuna yang mendengar itu, sontak saja langsung memukul lengan sang anak, niat hatinya menggoda Luca, justru Yuna sendiri yang terjebak. "Kamu ini, bisa aja buat Bundanya geleng-geleng kepala."

"Tapi aku nggak salah 'kan Bun? Bunda itu cantik, pria mana yang bisa berpaling dari cantiknya Bunda? Ayah beruntung banget bisa dapetin Bunda, dan Bunda beruntung punya Ayah," tutur Luca. Dibandingkan mengurus kisah cintanya, Luca akan terlebih dahulu membahagiakan sang ibu. Pokoknya, Yuna adalah wanita pertama yang ia cintai.

Yuna mengulas senyum, jika saja Luca tahu cerita di masa lalu, apakah sang anak masih tetap menganggap dirinya adalah orang yang beruntung? Karena nyatanya, Dimas sempat berpaling darinya, dengan berselingkuh bersama wanita lain.

"Ka, hati perempuan itu rapuh. Kalo kamu benar-benar menyukai seorang perempuan, jaga hati dia baik-baik ya? Mungkin, di luar memang terlihat kuat, tapi kita tidak tahu apa isi di dalamnya."

Yuna seolah sedang membicarakan dirinya sendiri, karena sejatinya hatinya tak sekuat yang terlihat. Ada alasan mengapa ia memilih untuk bertahan setelah pengkhianatan yang Dimas lakukan, yaitu Luca dan juga Esa.

Yuna tahu, di sini Dimas yang salah. Jadi ia tak pernah sedikitpun membenci Esa, tak sepatutnya Esa disalahkan atas kelahirannya. Justru, Yuna merasa sedih. Disaat Esa lahir, ibu kandung dari Esa menelantarkan bayinya begitu saja. Yuna tak tega, dari pada anak tidak berdosa itu akan dimasukkan ke panti asuhan, lebih baik dirinya saja yang merawat. Yuna hanya tak mau, jika Esa tumbuh kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Itu juga alasan dirinya tak mau bercerai waktu itu, karena ia tak mau Esa merasa terbuang.

Saat ini pun sebenarnya hubungan Yuna dan Dimas belum membaik semenjak kejadian di rumah sakit, tapi lagi-lagi demi anak. Yuna berakting, jika semuanya baik-baik saja.

***

"Lo masih deket sama Lio?" Tanya Esa, ini mungkin jadi kali pertama bagi mereka mengobrol, semenjak Esa membuat Luca masuk rumah sakit sekitar satu Minggu yang lalu.

"Masih," jawab Luca acuh tak acuh, rasanya ia ingin mengindar dari Esa, entah itu bertemu atau berbincang seperti ini, karena ia sudah tahu apa yang akan dilakukan kakaknya ini nantinya.

"Lo masih punya muka nunjukin diri lo di depan dia? Emangnya dia nggak sakit hati?" Tanya Esa lagi, ada nada mengejek saat Esa bertanya demikian. Seolah sengaja membuat Luca terpojokkan.

Luca menatap sang kakak, ia tahu jelas ke mana arah ucapan Esa barusan. Dan itu berhasil membuat Luca kembali mengingat masa lalu.

"Kalo misalnya gue jadi Lio sih, gue nggak sanggup liat lo di depan gue. Karena gue bakal inget terus wajah orang tersayang itu, yang kini jantungnya ada di lo. Secara, lo 'kan yang ambil jantung itu dari orang yang Lio sayang." Esa tersenyum miring, bisa ditebak bagaimana perasaannya saat ini, saat melihat Luca terpancing akan ucapannya.

Luca mengeraskan rahangnya, tangannya mengepal di bawah meja. "Bukan gue! Gue nggak ambil jantungnya!" Sentaknya, tangannya yang mengeras itu menjadi bergetar. Jika saja ia tahu bahwa pemilik jantung yang kini ada di tubuhnya adalah orang yang Lio sayang, ia juga takkan mau, Luca pasti akan menolak dengan keras.

"Kalo nggak! Sekarang lo bisa napas pake jantung siapa si*lan! Harusnya lo itu mikir, lo udah ambil punya orang lain, dan sekarang lo justru hidup dengan baik di atas penderitaan orang. Lo mungkin nggak tau, mungkin aja Lio ngerasa sakit liat lo selalu muncul dihadapan dia!"

Luca menggeleng, tak setuju dengan apa yang Esa katakan, ia menyangkal semua itu. "Nggak! Lio nggak gitu! Lio baik!"

"Oh ya? Tau dari mana lo kalo Lio baik-baik aja? Emang lo pernah nanya sama dia? Lo itu pencuri!"

Luca kehilangan kata-kata, otaknya menjadi ribut dalam sekejap mata. Jantungnya berdetak kencang dengan keringat dingin yang mulai keluar, kepalanya terasa pening dan telinganya sangat berisik. Ucapan Esa barusan terus terngiang-ngiang di kepalanya.

"Bukan, gue bukan pencuri."

[]

Bunda Yuna kuat banget ya? Dia pura-pura baik buat anak-anaknya. Udah tau juga 'kan, dari mana sifat Luca yang nggak enakan dan selalu pura-pura bahagia di depan orang? Iya, sifat ibunya nurun ke dia.

Lampung, 03102023

Hi, Luca ✓Where stories live. Discover now