1.6. Pejuang lainnya

970 121 9
                                    


Pada akhirnya, setelah pulang sekolah Luca langsung jujur dengan Yuna jika ia kehilangan obatnya. Sang ibu tentu saja langsung memarahinya, sampai rasanya telinga Luca panas mendengarnya.

"Udah Bunda bilang, jangan nunggu sampe kenapa-kenapa Ka. Ya Allah kamu tuh bebal banget." Karena merasa kesal dan juga khawatir, Yuna menjewer telinga Luca sampai anak itu mengadu kesakitan. Apa Luca tak ingat, beberapa hari yang lalu anak itu baru saja keluar dari rumah sakit.

"Tapi aku nggak papa 'kan sekarang? Udahlah Bun." Luca mengusap-usap telinganya yang terasa sakit setelah mendapatkan jeweran. Rasanya sedikit malu, karena Yuna menjewernya di area rumah sakit, kini mereka di sana setelah menebus obatnya.

"Yang ngerti kondisi kamu ya kamu Ka, yang sakit juga kamu yang ngerasain. Harusnya kamu lebih peka sama diri kamu sendiri." Untung saja Yuna sayang, kesabarannya selalu diuji dengan kelakuan Luca yang ingin membuat dirinya mendapatkan serangan jantung.

"Bunda makin cantik deh kalo marah-marah gini, hehe."

Yuna hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar kalimat sang anak. Yuna merasa senang melihat sang anak masih bisa meledeknya seperti ini, dari pada melihat anak tersebut lemah di ranjang pesakitan.

"Aku mau ke toilet dulu, Bunda duluan aja. Nanti aku nyusul," kata Luca di tengah perjalanan, tanpa menunggu jawaban dari Yuna ia langsung undur diri dari pandangan Yuna, membuat wanita itu hanya bisa menghela napasnya untuk kesekian kali.

Sebenarnya, bukan toilet tujuan Luca kali ini. Ia melihat sosok yang dirinya kenal tengah berdiri di depan salah satu pintu rawat VIP, terlihat ingin masuk ke dalam, tapi terlihat ragu.

"Jio!" Panggilnya, anak yang lebih muda darinya tersebut tampak mencari asal suaranya, hingga berhasil menemukan keberadaannya.

"Kak Luca," sapanya, ia menjauh dari pintu rawat tersebut dan berjalan mendekati Luca.

"Lo ngapain ada di sana? Mau liat siapa?" Tanya Luca. Jio sendiri adalah keponakan dari Rendi, dokter spesialis jantung yang menanganinya. Anak itu juga memiliki kondisi yang spesial seperti dirinya, yaitu PJB. Luca sudah mengenal lama anak itu, mungkin sejak operasi besarnya beberapa tahun yang lalu.

"Mau liat Kak Gery, sepupuku kak. Tapi aku nggak berani masuk," jawab Jio dengan jujur.

"Dia kenapa? Sakit?" Tanya Luca lagi.

Jio mengangguk lesu. "Iya, dia masih sensitif banget kalo ketemu orang. Jadi aku nggak berani masuk."

Luca beroh ria, orang sakit memang sensitif sekali perasaannya. Termasuk dirinya, ia memahami apa yang sepupu Jio itu rasakan. "Ya udah kalo lo takut, jangan dipaksa. Sepupu lo juga pasti bakal lebih marah kalo lo maksa masuk. Kita do'ain aja supaya cepat pulih."

"Iya Kak. Aku ngerasa beruntung dan bersyukur, masih punya Ayah dan Ibu yang sayang sama aku. Tapi aku ngerasa sedih sama Kak Gery yang nggak seberuntung aku, disaat dia kecelakaan parah. Keluarganya jarang yang jenguk, padahal di saat-saat kayak gini dia butuh mereka. Aku yang gini aja masih banyak ngeluh, apalagi Kak Gery?"

Jio tidak bisa merasakan bagaimana jika ia yang ada di posisi Gery, mungkin ia sudah menyerah saja sejak awal. Sepupunya itu mengalami kecelakaan hebat dan harus menerima kenyataan jika kecelakaan itu harus merenggut kedua kakinya, namun sayangnya tidak ada keluarganya yang peduli.

"Kayak yang lo bilang tadi Ji, lo harus bersyukur dengan apa yang lo punya saat ini. Karena nggak semua orang, punya yang lo miliki. Dan untuk keluarga sepupu lo itu, semua cepat disadarkan kalo nggak seharusnya mereka kayak gitu. Lo 'kan udah tau kalo dia sendiri, jadi lo jangan biarin dia kesepian" Luca tersenyum simpul, setiap orang memang memiliki lukanya sendiri-sendiri, dan memiliki caranya masing-masing untuk mengobati.

"Iya Kak, makasih udah denger ceritaku." Jio tersenyum hangat, ia yang merupakan anak tunggal merasa memiliki seorang kakak jika bersama dengan Luca.

Luca pun memberikan senyum hangatnya. "Sama-sama Ji."

"Oh iya, Kak Luca sendiri ke rumah sakit ngapain? Jadwal Kakak kontrol ya?" Tanya Jio, pasti bukan tanpa alasan Luca berada di rumah sakit.

"Ah bukan, nebus obat aja."

"Kakak ngerasa capek ya?"

Alis Luca bertaut, mengapa Jio berkata demikian? "Nggak kok, gue baik-baik aja."

"Nggak papa kok kak, capek itu manusiawi. Semua orang juga pasti pernah ngerasa capek, apalagi para pejuang kayak kita." Jio tak percaya jika Luca berkata baik-baik saja, yang lebih tua itu pasti tengah membohongi diri.

Ucapan Jio barusan membuat Luca terdiam, ia menjadi teringat bahwa waktu itu ia mengeluh lelah pada Rendi. Bahwa itu tidak mau hidup dengan rasa sakit terus menerus, tapi sayangnya kesembuhan tak pernah datang. Ia harus terus berjuang jika masih ingin tetap hidup.

"Kalo Kakak ngerasa capek. Coba deh, tonton channel Y*uTube sama popcastnya almarhum Om Julian, anak dari perusahaan apa ya? Pokoknya ayahnya itu punya perusahaan terkenal lah. Om Julian itu mantan survivor cancer, hidup yang dia jalani nggak semudah keliatannya. Dulu waktu sekolah dia di bully karena fisiknya, belum lagi vonis dokter yang katanya dia kena leukimia. Dia banyak cerita gimana caranya bangkit dalam keterpurukan itu, apa yang harus dilakuin waktu kita capek dan selalu ngasih semangat. Kalo dia masih ada, aku pingin ketemu dia secara langsung," ucap Jio panjang lebar.

"Dia, meninggal karena sakit itu 'kan? Sama aja perjuangannya sia-sia," timpal Luca, entah mengapa ia menjadi sosok yang pesimis saat ini.

"Ih bukan Kak! Makanya Kakak nonton dong, biar nggak langsung ngasih opini jelek gitu." Jio mendengus kesal, sudah sekali membangkitkan semangat yang lebih tua ternyata.

"Ya terus?"

"Nggak ada yang namanya sia-sia Kak, dia berhasil remisi¹ dari kanker, setelah berobat di Singapura selama dua tahun, transplantasi sumsum tulang² belakangnya berhasil. Setelah dia sembuh, dia yang sebelumnya memang y*utuber itu unggah pengalamannya selama dia sakit dan segala liku-likunya. Seperti yang kak Luca bilang tadi, bahwa kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya, dan itu yang selalu Om Julian lakuin. Dan soal dia meninggal, itu sudah takdir dari Tuhan 'kan kak? Kita nggak bisa merubah itu. Karena bahwasannya, kematian memang berdampingan dengan kehidupan yang tidak bisa diganggu gugat. Ah iya, kalo nggak salah, istri almarhum Om Julian itu guru dan ngajar di sekolah kakak tau, anaknya juga sekolah di sana, adik kelas kakak. Namanya Juan."

Luca membenarkan ucapan Jio, bahwa segala perjuangan tidak akan ada yang namanya berakhir sia-sia. Masalah yang akhir-akhir ini mengganggunya membuatnya tak memiliki semangat, sampai ia lupa jika masih ada Tuhan yang membantunya.

Mendengar sosok Julian yang Jio ucapkan barusan, bisa Luca artikan bahwa Julian adalah sosok yang hebat. Luca jadi ingin tahu lebih banyak tentang sosok itu, sebagaimana walau sosoknya sudah pergi jauh, namun namanya masih di ingat oleh orang-orang.

"Oke, nanti gue tonton channelnya. Kayaknya gue harus pulang, ibu negara udah nelpon," katanya, padahal Luca masih ingin membicarakan banyak hal dengan Jio jika Yuna tidak menelpon dirinya saat ini. Wanita itu pasti sibuk mencari dirinya.

[]

-Remisi¹; Istilah remisi, disematkan pada pasien kanker yang sudah melakukan terapi, dan sudah dievaluasi, bahwa pasien tersebut tidak mengandung sel kanker lagi di dalam tubuhnya. Pada masa remisi tersebut, si pasien harus tetap kontrol secara teratur dan tetap menjaga tubuhnya agar selalu sehat.

-Transplantasi sumsum tulang² adalah prosedur untuk memperbarui sumsum tulang yang rusak dan tidak lagi mampu memproduksi sel darah yang sehat. Transplantasi sumsum tulang disebut juga transplantasi sel induk atau sel punca (stem cell). [Lebih lengkapnya cari google]

Lampung, 30092023

Hi, Luca ✓Where stories live. Discover now