0.4. Niat tersembunyi

1.7K 217 21
                                    

Bisa dibilang, Luca itu anak yang manja. Tapi hanya pada Yuna saja, jika pada ayah dan kakaknya, sudah bisa dipastikan apa yang akan terjadi. Luca heran, entah apapun itu, dirinya pasti selalu salah di mata keduanya. Baik disengaja atau tidak, ia tetap salah. Seperti saat ini contohnya.

"Selain nyusahin, ternyata lo g*blok juga ternyata! Gue susah-susah nimbang, dan lo tumpahin!" Cecar Esa, bagaimana tidak? Adiknya itu membuat masalah dengan menumpahkan gula pasir yang baru saja ditimbang, sehingga membuatnya berceceran di lantai.

Masih ingat 'kan jika keduanya diberi hukuman untuk menjaga warung? Luca datang sehabis pulang sekolah untuk melaksanakan hukumannya, tapi bukannya meringankan pekerjaan, Luca justru menambah pekerjaan. Kali ini Luca mengakui kecerobohannya.

"Gue nggak sengaja Bang," lirih Luca, dirinya benar-benar tidak sengaja menumpahkan gula tersebut. Niat hati ingin membantu, tapi justru membuat rusuh, Luca merutuki dirinya yang begitu ceroboh.

Walau begitu, tidak sepenuhnya salahnya, karena saat Luca akan melangkah, kaki Esa menghalangi jalannya sehingga Luca jatuh dan tak sengaja membuat gula-gula yang sudah di timbang dalam bentuk tengahan kilo namun belum di tali itu tumpah.

"Lo itu bisanya apa sih selain nyusahin? Heran gue, kenapa dulu Ayah sama Bunda mau pertahanin lo," kata Esa dengan nada sarkasnya, tak memedulikan jika sang adik akan terluka akan ucapannya.

Luca diam tidak menjawab, ia sibuk membersihkan gula yang bercecer karena ulahnya. Sudah terbiasa sebenarnya Luca mendapatkan ucapan seperti itu dari Esa, namun hatinya tidak bisa terbiasa dengan kalimat menyakitkan tersebut.

"Ayah! Liat! Luca numpahin gula!" Esa berteriak saat melihat sang ayah baru datang, ia mengadu atas apa yang sudah Luca perbuat.

Luca menatap takut pada Dimas, sorot matanya yang selalu tajam padanya membuat Luca tidak berani menatap lama-lama netra tersebut. "A-aku nggak sengaja Yah."

"B*odoh atau d*ngu kamu! Liat sekarang, mau digimanain kalo udah kotor kayak gitu!?" Sentak Dimas, merasa geram dengan tingkah laku Luca yang selalu membuat masalah. Tak bisakah anak itu sekali saja tidak membuatnya marah?

"Kalo memang nggak mau itu bilang! Nggak usah sok iya-iya tapi sebenarnya kamu nggak ikhlas! Kamu kira ini belinya sama daun apa?" Cecar Dimas lagi.

Sementara Luca memilih untuk diam kembali, rasanya percuma jika ia membela karena hasilnya tetap sama. Dimas memang tidak main tangan padanya, namun hatinya sakit diperlakukan beda seperti ini. Mau seberapa kecil masalah yang Luca timbulkan, Dimas selalu menganggap hal itu sebagai masalah besar. Berbanding terbalik jika yang Esa yang membuat masalah besar, Dimas akan memaklumi dan menganggap bahwa itu hanya masalah kecil.

Luca merasakan ayahnya pergi dari sana, setelah sebelumnya melempar sapu ke arahnya begitu saja, untuk membersihkan gula yang tidak mungkin untuk dijual lagi.

"Makanya jadi anak itu ada gunanya dikit! Nggak t*lol-t*lol amat!" Cibir Esa yang setelahnya pergi meninggalkan anak itu sendiri, biarkan Luca membereskan semua, Esa tidak peduli.

Luca hanya bisa menghela napas pelan, dalam satu kesempatan ia sudah beberapa mendapatkan kata-kata kotor, dirinya memang tidak seberguna itu.

"Suatu saat, gue pasti bakal berguna buat mereka."

***

Hawa dingin semakin menusuk tulang, sesekali Luca memeluk sendiri tubuhnya karena merasa kedinginan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, namun tugasnya menjalani hukuman belum selesai karena warung mereka akan tutup setengah jam lagi.

Dimas sudah pulang sehabis memarahinya tadi, sementara Yuna tidak datang lagi ke sini. Keduanya mempercayakan warung kepadanya dan Esa.

Luca melirik ke arah Esa, ingin sekali ia meminta izin pada laki-laki itu untuk mematikan kipas angin yang menyala. Ia yang hanya memakai kaos pendek itu merasa sangat kedinginan, tapi tidak memiliki keberanian pada Esa. Kakaknya sendiri, apa tidak kedinginan dengan kipas yang menyala seperti itu?

Semenjak keduanya menjaga warung tadi, Luca yang melayani semua pembeli, sementara Esa diam saja dan sibuk bermain ponsel. Kakaknya tidak kerja sama sekali.

"Beli!"

Luca sontak berdiri dari duduknya saat mendengar ada pelanggan, lantas dirinya terkejut saat mengetahui siapa pelanggan yang datang. "Lho, Agam. Cari apa?"

"Luca, lo kerja atau_

"Ini warung bonyok, gue suruh nungguin aja."

Agam beroh ria, "gue cari s*rya 16, satu bungkus aja."

Luca langsung berjalan ke arah tempat nikotin itu berada, lantas memberikannya pada Agam. "Lo ngerokok Gam?"

Agam berdehem pelan, mengambil benda tersebut dan beralih memberikan uang berwarna biru pada Luca. "Lo mau?" Tawarnya pada teman barunya ini.

"Nggak, gue nggak ngerokok," tolak Luca secara halus, selama hidupnya ia belum pernah satu kalipun mencoba untuk menghisap benda yang berbuat dari tembakau tersebut.

"Lo anak baik-baik ternyata," ujar Agam, menyimpan rokok yang sudah ia beli bersama dengan uang kembalian yang diberikan Luca.

Luca menggaruk tengkuknya yang tidak gatak mendengar kalimat tersebut. "Nggak juga, gue memang nggak boleh ngerokok."

Agam mengangguk-angguk paham, ia tidak langsung pergi setelah itu. Dirinya mengajak Luca untuk menemani dirinya dulu dengan duduk di kursi panjang yang ada di depan warung tersebut.

"Rumah lo, di sekitaran sini juga Gam?" Tanya Luca, yang ia dengar jika Agam pindah sekolah karena kedua orang tuanya juga pindah ke rumah barunya, tapi Luca tidak tahu disekitar mana rumah temannya ini.

Agam mengangguk. "Iya, di gang akasia, blok B, nomor 24. Kapan-kapan, mainlah ke sana."

Luca tersenyum tipis mendengarnya, ia tahu, Agam ini anak orang kaya, ke sekolah saja pakai mobil, dan cara berpakaiannya juga terlihat mewah, jauh berbeda dengan dirinya yang saat ini hanya memakai kaos oblong dan celana pendek biasa.

"Uhuk! Uhuk!" Luca terbatuk sesaat Agam menyalakan rokoknya dan asap rokok tersebut berhembus.

"Eh, sorry. Lo beneran nggak bisa kena asap rokok ya?" Agam menoleh pada Luca yang masih terbatuk itu, ia tidak tahu jika Luca akan se-sensitif itu hanya karena menghirup asap rokoknya, padahal ia sudah menyampingi Luca saat ia mengepulkan asap tersebut.

"Nggak kok, gue lagi batuk aja," jawab Luca dengan senyum kikuknya. Pada kenyataannya, ia kedinginan dan ditambah asap dari rokok tersebut membuat dadanya tidak nyaman. Belum ada satu Minggu ia sembuh, jangan sampai ia sakit lagi.

"Ternyata lo selemah ini ya Ka?" Monolog Agam dalam hati.

"Lo pernah denger nggak Ka, ada pembunuhan di sekolah gue yang dulu?" Kata Agam, ia yang masih menyalakan rokoknya itu tak memiliki niat untuk mematikannya, walau sudah tahu Luca terbatuk karenanya.

"Ah iya, lo 'kan dari sekolah SMA 2 Gunung Jati ya? Gue denger itu, dulu heboh banget beritanya." Luca tentu ingat dengan berita tersebut, sekitar satu tahun yang lalu, di mana terjadi pembunuhan di sekolah Agam dulu.

Sadis sekali, karena pelakunya adalah sahabat korban. Luca bergidik ngeri mendengarnya, bagaimana bisa orang itu membunuh sahabatnya sendiri?

"Lo udah tau belum, alasan pelaku bunuh korban? Padahal mereka itu sahabatan udah dari lama."

Luca terdiam sejenak. "Balas dendam?" Katanya dengan ragu, setahunya itu adalah motif pelaku membunuh korban. Balas dendam.

Agam menyeringai, jawaban Luca tetap sasaran. "Iya, balas dendam."

[]

TBC

Gaes, rekomendasi cerita brothership yang penulisannya rapi dan angst dong. Aku kehabisan bahan bacaan, otornya ditungguin nggak up up🥺

Lampung, 06092023

Hi, Luca ✓Where stories live. Discover now