3.3. Permainan dimulai

446 52 2
                                    

Luca kembali tidak bisa tidur dengan tenang tadi malam, ia terus memikirkan alamat yang tertera di kertas itu. Luca sangat ingat, ia tidak lupa bahwa dirinya paham betul jika alamat tersebut adalah alamat baru rumah Agam.

Luca ingin mengelak, tapi saat ia mendengar cerita Agam yang memiliki kakak laki-laki yang sakit sepertinya, Luca semakin dirundung gamang. Ia takut bukan karena tidak berani menampakkan diri ke sana, karena sejak awal Luca memang ingin meminta maaf. Ia takut karena bagaimana jika orang tersebut adalah kakak Agam? Luca tidak bisa membayangkan betapa sakitnya Agam nanti.

Maka dari itu, untuk membuktikan benar atau tidaknya, setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Luca mendatangi rumah Agam sendiri, tanpa ditemani oleh siapapun. Termasuk Lio.

Kini, kakinya sudah berdiri di depan rumah besar milik keluarga Agam, dengan ragu ia memencet bel rumah tersebut, hingga ia diperbolehkan untuk masuk. Ia mendudukkan diri di sofa, menunggu Agam datang.

"Ka, tumben banget ke sini. Ada apa?" tanya Agam, ia mengerutkan keningnya saat melihat Luca datang, untuk apa anak itu datang?

Luca tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, rasanya sulit sekali lidahnya untuk berucap. Ia menghela napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan.

"Maaf kalo kedatangan gue ganggu lo Gam, gue ke sini karna ada yang perlu gue omongin ke lo," ujar Luca, membuka pembicaraan mereka.

"Nggak ganggu kok, lagian gue juga kesepian di rumah. Lo mau ngomongin apa?" Agam tak tahu mengapa Luca tiba-tiba saja datang ke sini, tapi ia merasa senang karena dirinya memiliki mainan agar dirinya tidak kesepian.

"Gu-gue mau nanya, maaf kalo ini sensitif buat lo. Kalo boleh tau, tahun berapa Kakak lo meninggal? Kalo nggak mau jawab nggak papa," tanya Luca hati-hati, ia takut pertanyaannya ini membuat Agam marah.

Agam tersenyum miring, kali ini akan seru batinnya. "Kakak gue meninggal pada tanggal 10 April tahun 20xx, kenapa lo nanya gitu?"

Deg!

Luca dibuat tidak bernapas, itu tanggal dan tahun yang sama dengan dirinya mendapatkan transplantasi itu, tidak salah lagi jika kakak Agam adalah orang itu. Terlebih lagi Agam pernah bercerita kepadanya, tentang sang kakak yang seharusnya mendapatkan donor tersebut tapi justru diambil oleh orang lain.

Tanpa aba-aba, Luca langsung berlutut di depan Agam, ia memegang erat kedua tangan Agam dan mulai bersuara. "Gam, gue minta maaf. Gue orang yang udah ambil donor itu dari Kakak lo Gam. Gue nggak tau harus bilang apalagi selain minta maaf."

Agam terkejut di tempatnya, saat Luca tiba-tiba berlutut di hadapannya lalu meminta maaf. Tapi setelah itu Agam mengeraskan rahangnya, ia menatap Luca dengan tatapan kebencian.

"Akhirnya lo tau juga, gue udah lama nunggu lo dateng ke sini untuk minta maaf," kata Agam dengan datar, ia tidak menunjukkan ekspresi lain selain kebencian kepada Luca.

Luca mendongak menatap Agam, itu artinya Agam sudah mengetahui hal itu, tapi mengapa tidak pernah bercerita kepadanya dari awal? Luca merasa bersalah karena ia sudah berada di dekat Agam selama ini, yang pastinya hanya akan membuat cowok tersebut menderita.

"Lo udah tau? Ke-kenapa nggak bilang dari awal? Gue minta maaf Gam, gue nggak tau kalo jantung ini seharusnya milik Kakak lo," ujar Luca bingung.

Agam berdiri dari duduknya, kemudian sengaja mendorong Luca yang tengah berlutut itu hingga terjatuh.

"Kenapa harus gue bilang dari awal kalo tujuan gue balas dendam ke lo? Nggak akan seru kalo lo tau permainan ini dari awal Ka. Lo tau, sejujurnya gue muak pura-pura baik di depan lo! Gue nggak sudi liat pembunuh kayak lo!" Cerca Agam, mungkin ia saatnya ia mengeluarkan sifat aslinya di depan Luca, agar cowok itu tahu bahwa kedatangan dirinya ke kehidupan Luca adalah untuk balas dendam.

Luca menatap Agam dengan sendu, kini ia paham mengapa Agam selalu membahas balas dendam di depannya, karena memang Agam memiliki tujuan itu kepadanya.

"Gue minta maaf." Tak ada kata lain yang bisa Luca keluarkan selain minta maaf, Luca juga tak mau berada di situasi seperti ini, ia juga tak bermaksud mengambil donor tersebut dari kakak Agam.

"Apa? Kocak lo! Gue nggak salah denger lo masih bisa minta maaf ke gue? Pembunuh kayak lo nggak pantes buatkan dimaafkan, kalaupun bisa, apa lo bisa balikin Kakak gue hidup lagi sekarang? Jangan mimpi gue maafin lo Ka," kata Agam dengan pedas, luka di hatinya saat Nijam pergi masih membekas sampai sekarang, Agam tidak bisa memaafkan orang yang sudah membuat kakaknya pergi begitu saja.

Luca menunduk, ia memang tidak pantas mendapatkan maaf dari Agam, setelah apa yang terjadi. "Apa yang harus gue lakuin supaya lo mau maafin gue Gam?"

"Lo harus ngerasain penderitaan yang sama, gue akan maafin lo kalo lo lenyap dari dunia ini." Agam selalu merasa sakit melihat wajah Luca, mengingatkan dirinya pada sang kakak yang menderita dulu.

"Lakuin Gam, kalo itu bisa nebus kesalahan gue ke lo. Lagipula gue udah capek, kalo gue tetep hidup pun, gue hanya akan dihantui perasaan bersalah." Luca sudah pernah bilang jika dirinya lelah 'kan? Apalagi setelah ia mengetahui fakta ini, Luca tambah tak memiliki semangat hidup. Ia tidak mau hidup dibayang-bayang penderitaan orang lain.

Agam memalingkan wajahnya, ia kesal melihat wajah Luca yang sedih seperti itu, ia benci bocah lemah itu.

"Sekarang lo boleh pergi, sebelum gue gelap mata habisin lo Ka! Tapi lo harus inget, lo nggak boleh kabur dari gue, lo harus menderita dulu."

***

Luca menyembunyikan rahasia tentang dirinya dan Agam kepada orang-orang, atas permintaan Agam sendiri, tidak disuruh pun Luca pasti menyembunyikan ini dari orang-orang, karena ia ingin menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain.

"Gimana Ka, apa alamat itu beneran rumah Agam?" Tanya Lio, ia sangat penasaran dengan alamat tersebut, ia takut jika alamat itu benar rumah Agam, akan terjadi apa persahabatan mereka nanti jika itu terjadi?

"Lo tenang aja, bukan keluarga Agam kok. Kemaren gue udah ke sana dan udah minta maaf, lo jangan khawatir," jawab Luca, ia terpaksa berbohong kepada Lio.

Lio bernapas lega, itu berita baik yang ingin ia dengar. Kemarin ia memang ingin menemani Luca ke alamat itu, tapi Luca menolak dan mengatakan bahwa cowok itu bisa sendiri. "Ah syukurlah kalo gitu."

"Halo Ka, Yo. Selamat pagi!"

Orang yang tengah menjadi pembicaraan mereka muncul, Agam tersenyum hangat ke arah Luca dan Lio, kemudian mendudukkan dirinya di bangkunya.

"Kayaknya lo semangat banget Gam hari ini, kenapa nih? Apa baru aja nembak cewek?" Tutur Lio ketika melihat wajah Agam yang terlihat sangat bersemangat pagi ini.

"Iya gue lagi seneng banget sekarang, karna gue punya permainan baru dan berhasil menang. Iya nggak Ka?" jawab Agam, kemudian ia menatap Luca yang terlihat tidak nyaman dengan keberadaannya.

"I-iya Gam." Luca memaksakan dirinya untuk tersenyum, agar terlihat baik-baik saja di depan Lio.

"Ada apa nih, kayaknya gue doang yang nggak tau," komentar Lio ketika melihat interaksi kedua temannya itu.

"Bukan apa-apa Yo, iya 'kan Ka?"

Lagi-lagi Luca mengangguk, tak lama kemudian bel masuk berbunyi, Agam mendekatkan bibirnya di telinga Luca dan berbisik. "Permainan segera dimulai!"

[]

Hi, Luca ✓Where stories live. Discover now