2.8. Perihal detak jantung

572 50 2
                                    

Setelah mendapatkan perawatan cukup lama di rumah sakit, akhirnya Luca diperbolehkan pulang. Luca tak berbohong jika ia merasa kondisinya semakin membaik, detak jantung yang biasanya berdetak dengan cepat ataupun melambat, kini berdetak dengan normal. Kata dokter Rendi, balon yang dimasukkan dalam tubuhnya berfungsi dengan baik, Luca pun pulih dengan baik.

"Inget, di rumah juga harus bedrest beberapa hari dulu, sampe badan kamu bener-bener pulih. Obatnya tetep diminum rutin, nggak boleh sampe lupa," ujar Rendi menasehati pasiennya.

Luca mengangguk paham. "Iya, aku inget kok."

Rendi tersenyum, ia mengusap rambut pasiennya sebelum pamit pergi dari sana. Setelah perginya sang dokter, Luca menatap sang ibu yang tengah membereskan barang-barangnya untuk pulang ke rumah.

Luca senang, karena hari ini sang ayah juga datang untuk menjemput dirinya. Luca kira, pria paruh baya tersebut akan tetap mengabaikan dirinya hingga pulang ke rumah. Tapi nyatanya tidak, ayahnya masih mengurus kepulangannya.

"Jangan senyum kelebaran Dek, sobek mulut lo nanti," ujar Esa, cowok itu tentu saja ada di sana menyambut kepulangan sang adik. Nyatanya setelah mereka berbaikan dalam seminggu lebih ini, tidak buruk juga. Luca tak seburuk yang Esa kira dulu.

"Hehe, soalnya gue seneng banget Bang pulang hari ini. Gue kangen sama kasur di rumah," kata Luca cengengesan.

Esa ikut tersenyum melihat wajah senang sang adik, tapi sayangnya besok ia harus kembali kuliah karena masa skorsingnya sudah habis. Ah, padahal mereka baru dekat, tapi harus berpisah terlebih dahulu. Tapi Esa janji, ia akan mengabari sang adik setiap hari, dan menanyakan kabar anak itu selalu.

"Udah semua Bun?" Tanya Dimas yang baru saja datang, setelah mengurus keperluan pulang sang anak.

"Iya Yah, udah semua kok. Bisa tolong ambilkan kursi roda? Kayaknya Luca belum kuat buat jalan," jawab Yuna, meminta tolong lagi pada sang suami untuk mengambilkan Luca kursi roda, karena mungkin saja Luca belum kuat untuk berjalan.

"Eh nggak usah, aku kuat jalan kok. Udah nggak lemes," sahut Luca, ia merasa sudaj sangat sehat saat ini, jadi tidak memerlukan alat bantu itu, lagipula selama masa pemulihan, Luca juga melakukan fisioterapi.

"Nurut aja, sakit lagi Ayah yang repot," ujar Dimas, anaknya itu sok-sok bisa berjalan sendiri, nanti jatuh sakit lagi ia yang repot.

Akhirnya Luca hanya bisa menurut, ucapan ayahnya itu selalu tajam untuknya, sehingga Luca tidak bisa membantah jika sang ayah sudah angkat bicara.

Setelah mengambilkan kursi roda, Dimas membantu memapah sang anak untuk duduk. Walau ia tidak suka dengan anak itu, tapi jiwa ke-ayahannya masih ada. Setelah Luca nyaman, ia segera mendorong kursi roda itu keluar diikuti Esa dan Yuna di belakangnya. Sampainya di rumah juga, Dimas membantu memapah sang anak sampai kamar anak tersebut.

"Makasih Yah," ucap Luca setelah sang ayah mendudukkan dirinya di kasur, walau bermulut tajam, ayahnya itu masih peduli dalam hal-hal seperti ini.

Dimas hanya berdehem singkat, lalu ia mengalihkan perhatiannya ke arah dang istri. "Ayah mau langsung ke warung, kasian Putra sama Budi yang Ayah tinggal, takutnya mereka nggak tau harga."

"Iya Yah, Bunda di rumah dulu aja ya. Nemenin Adek," jawab Yuna, walau dirinya agak sedih karena lagi-lagi Dimas mementingkan warung dibandingkan dengan Luca sendiri.

"Di warung udah ada yang kerja lagi Bun?" Tanya Luca.

"Iya, karena nggak mungkin Ayah sama Bunda doang yang ngehandel," jawab Yuna, semoga saja para karyawan barunya itu betah bekerja di warungnya.

Luca mengangguk paham, warung milik kedua orang tuanya memang cukup besar dan alhamdulilahnya selalu ramai setiap hari, jadi jika hanya kedua orang tuanya pasti tidak cukup tenaga.

Hi, Luca ✓Where stories live. Discover now