0.3. New Friend?

2K 242 21
                                    

Seperti sebelumnya, Luca demam di malam harinya. Beruntung sang ibu dengan telaten mengurus dirinya dengan sabar, berbeda dengan sang ayah yang mengomeli dirinya dengan kata-kata menyakitkan. Apalagi dengan adanya Esa di rumah, yang lebih tua itu bisanya mengompori saja.

Lalu keesokan harinya, Luca memaksakan diri untuk tetap sekolah. Demamnya juga sudah lumayan turun, hanya sedikit pening saja. Dari pada di rumah, yang ada nanti ia disindir terus oleh ayah dan kakaknya, ia tidak mau jika harus membuat keributan terus.

"Besok-besok, kalo kambuh cepet bilang Bunda ya? Kamu 'kan tau kalo sakitmu itu nggak bisa disepelein. Liat tuh kaki kamu, bengkak kayak gajah," kata Yuna, menunjuk kaki sang anak dengan lirikan matanya.

Luca hanya cengengesan mendengarnya, matanya melirik kakinya yang terlihat bengkak, benar kata sang ibu, seperti gajah. Cukup nyeri, tapi bisa ia tahan. "Iya Bun, lagian aku nggak pingsan kok."

"Ya nggak nunggu sampe pingsan dulu dong Dek." Yuna geleng-geleng kepala dengan tingkah anaknya, Luca selalu menganggap dirinya baik-baik saja, padahal ia tahu, segala sikap baik-baik saja Luca adalah topeng untuk menutupi semua kelemahannya.

Mereka berdua terdiam cukup lama, sampai akhirnya Luca berucap pelan. "Aku ngerepotin ya Bun?"

Pertanyaan itu lagi, sudah berkali-kali Yuna mendapatkan pertanyaan tersebut dari Luca. "Iya, kamu ngerepotin. Tapi Bunda seneng direpotin kamu."

"Kenapa Bunda sayang sama aku? Kenapa Bunda mau direpotin sama aku?" Tanya Luca lagi, perasaannya jadi sensitif jika sedang sakit, hatinya mudah terluka.

"Kenapa? Karena ini udah tugas Bunda sebagai ibu kamu Ka. Bunda diberi amanah sama Tuhan untuk jaga kamu, nggak ada alasan untuk Bunda nggak sayang. Adanya seorang anak memang buat ngerepotin orang tuanya 'kan, coba kamu pikir, seorang bayi lahir secara langsung udah jadi tanggung jawab orang tuanya. Sebelum mereka memutuskan punya anak, mereka udah tau bakal seperti apa ke depannya. Dan tanpa disuruh, orang tuanya udah tau apa yang harus dilakukan, yaitu menjaga dan merawatnya dengan baik. Nggak mungkin 'kan bayi sekecil itu bisa apa-apa sendiri? Kalo mereka ngerasa direpotkan dengan anaknya, berarti mereka nggak bertanggung jawab buat kasih hak ke anaknya. Kamu paham maksud Bunda?"


Hati Luca terasa hangat, ia mengangguk paham dengan apa yang Yuna ucapkan. Rasanya Luca beruntung sekali memiliki Yuna sebagai ibunya, yang tidak pernah letih merawat dirinya yang merepotkan ini. Yuna adalah bidadari untuknya, rasa sayang Luca jauh lebih besar untuk Yuna dari pada untuk dirinya sendiri.

Jika ada yang menyakiti sang ibu, baik seujung kukupun, Luca akan membalas lebih dari itu.

"Udah sana berangkat sekolah, Lio udah jemput tuh di bawah," ujar Yuna lagi.

"Aku berangkat ya Bunda, assalamualaikum." Luca mencium tangan Yuna sebelum pergi dari sana, sementara Esa dan ayahnya sudah pergi ke warung pagi tadi. Mungkin menghindar darinya. Entahlah, sepertinya dua laki-laki beda generasi itu kompak sekali memusuhinya.

***

Kelas 11 MIPA 4, di sana kelas Luca maupun Lio berada. Pada awalnya, Luca berniat masuk IPS dan tidak berminat untuk masuk jurusan IPA sedikitpun, hal itu sudah ia pikirkan matang-matang saat masih SMP. Namun siapa sangka, keputusannya itu berubah didetik saat ia mengisi formulir pendaftaran waktu itu. Sementara itu, Lio yang tidak memiliki minat apapun ikut-ikut Luca saja mau masuk mana. Definisi di mana ada Luca, di situ ada Lio.

Hi, Luca ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ