BAB 21 - Tak terduga

15 11 0
                                    

Ternyata ini belum selesai. Masih ada rintangan selanjutnya di depan sana.

***

"Pa tolong, Pa aku gak mau dipenjara." Lopi terus membujuk ayahnya supaya dia tidak dipenjara.

"KAMU BISA DIEM GAK?! PUSING SAYA DENGARNYA!"

Lopi tersentak mendengar teriakan dari sang ayah. Dalam keadaan seperti ini pun, Mario terus membentaknya.

"MAS!" tegur Karin karena tak terima anaknya dibentak. Apalagi dalam situasi seperti ini. "Gak pake dibentak bisa, kan?"

"KAMU JUGA DIAM!"

"Tolong jangan berisik Pak, Bu!" Pak Polisi menegur mereka karena sudah mengganggu pekerjaannya.

"Lapor komandan." Tiba-tiba polisi yang lainnya datang. "Dia sudah datang," ujarnya memberitahu.

"Suruh dia masuk."

"Baik."

Polisi itu berbalik pergi. Beberapa saat kemudian datang kembali bersama seorang lelaki.

"Ini, Pak, saksi sekaligus kakak dari si korban."

Lopi dan orang tuanya langsung menoleh dengan bersamaan. Mereka sama-sama terkejut. Apalagi Karin dan Mario yang melihat Rendi dengan tatapan tak percaya. Begitupun dengan Rendi.

"Ma, Pa?"

***

"Kamu?"

Ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Setelah bertahun-tahun tidak bertatap muka, Rendi akhirnya bertemu dengan orang yang sudah tega meninggalkannya dan juga Mia. Orang tua yang tidak pernah peduli dengan mereka.

"D-dia siapa, Pa? Kenapa panggil kalian 'Ma, Pa'?" Lopi yang benar-benar tidak paham sekaligus terkejut pun langsung beranjak dari duduknya.

Sementara Rendi tersenyum miris saat akhirnya melihat mereka kembali.

"Apa kabar Ma, Pa?" tanya Rendi memaksakan untuk tersenyum. Padahal di dalam hatinya terasa seperti ada yang mencabik-cabiknya.

"Jadi yang meninggal itu ...." Mario tak lagi melanjutkan ucapannya karena sudah tau dengan jawabannya.

Rendi mengangguk sambil tersenyum miris. "Ya. Itu anak kalian. Darah daging kalian sendiri, tapi dengan teganya kalian mencampakkannya gitu aja."

Mario seketika terkejut dan menutup mulutnya tak percaya. Pria itu seketika merasa bersalah. Begitupun dengan Karin yang langsung menangis.

"Anak? Maksudnya apa sih, Pa?" Lopi yang sejak tadi menyimak langsung bertanya. Dia tidak paham sama sekali.

Mario langsung menatap Lopi dengan tatapan berang. Lalu menarik pergelangan tangan gadis itu.

"Kamu tau siapa yang udah kamu tabrak? Kamu tau siapa yang udah kamu buat meninggal? KAMU TAU?!"

"Sakit, Pa." Lopi meringis kesakitan dengan air mata yang mengalir turun. Berusaha melepaskan cekalan ayahnya.

"Mas, udah! Lepasin tangan Lopi!"

"Diem kamu! Kamu tau? Gara-gara dia, anak kita jadi meninggal!"

Rendi terkekeh mendengar perkataan Mario. "Anak kalian? Kayaknya saya perlu menarik kata-kata saya yang tadi. Orang tua mana yang tega ninggalin anaknya gitu aja? Padahal waktu itu Mia masih kecil, masih butuh kasih sayang kalian. Masih butuh perhatian kalian. TAPI, KEMANA AJA KALIAN?!"

Rendi mengepalkan tangannya dengan bahu yang naik turun. Berusaha menahan emosinya yang telah memuncak.

"Kalian nyalahin orang lain atas kematian Mia. Tapi, kalian sendiri? KALIAN SENDIRI KEMANA WAKTU MIA BUTUH KALIAN? WAKTU MIA TERUS NANYAIN KALIAN? PADAHAL KALIAN SENDIRI UDAH TEGA NINGGALIN DIA!"

Suasana di kantor polisi berubah menjadi tegang. Semuanya terungkap di sana. Selama bertahun-tahun Mia bertanya-tanya keberadaan orang tuanya, namun mereka datang di saat Mia sudah tidak ada.

"Rendi, itu semua gak seperti yang kamu kira. Kita gak bermaksud ninggalin kamu dan Mia. Kita cuma menitipkan kalian di tempat ibu, karena waktu itu kondisi ekonomi kita sedang sulit." Mario membela diri.

Rendi tersenyum miris. "Terus, kenapa kalian gak jemput kita sedangkan kalian udah hidup mewah?" Mereka semua langsung bungkam atas pertanyaan Rendi. "Di saat pemakaman nenek pun, kalian gak ada, kan? Saya saja ragu kalian tau kalau nenek sudah meninggal."

Mario dan Karin lagi-lagi dibuat terkejut dengan apa yang baru saja didengar.

Rendi langsung menatap ke arah polisi. "Pak, saya mau melaporkan mereka atas kejahatan sudah menelantarkan seorang anak. Begitu pun dengan kecelakaan yang terjadi pada Mia adik saya hingga meninggal. Saya harap, mereka diberi hukuman yang setimpal atas perbuatan mereka."

Mereka bertiga dibuat terkejut oleh penuturan Rendi. Termasuk Mario yang langsung menghampiri Rendi dan memohon-mohon.

Para polisi yang ada di sana langsung menghampiri ketiga orang itu dan mereka langsung dibawa untuk disidang. Mario terus meraung-raung dan memohon pada Rendi untuk melepaskan tuntutan itu. Begitupun Lopi yang sudah menangis sesegukan.

Rendi membalikkan badannya. Semoga saja keputusannya melaporkan orang tuanya pada polisi tidak salah.

***

"Halo peri kecilnya Kakak." Rendi berjongkok di samping gundukan tanah yang masih basah dan masih terdapat bunga warna-warni. Mengusap batu nisan dengan bertuliskan nama Mia di sana.

Rendi berusaha menampilkan senyumnya di depan makam sang adik. Padahal sedari tadi hatinya sedang hancur.

"Kamu tau? Kakak udah ketemu sama papa dan mama." Rendi mulai bercerita. "Tapi, Kakak minta maaf, Kakak terpaksa bikin mereka masuk penjara. Mia gak marah, kan sama Kakak?"

Rendi tak bisa lagi menahan air matanya. Perlahan cairan bening itu terjun membasahi pipinya. Walau begitu, bibirnya tetap membentuk senyuman.

"Mia ... Kakak minta maaf, karena gak bisa jagain kamu. Kakak juga minta maaf, karena gak bisa jagain nenek." Rendi menarik ingusnya dan tersenyum kembali. "Pasti Mia ketemu nenek di sana? Pasti sekarang Mia lagi main sama nenek? Kakak liat kalian berdua dari sini." Rendi tersenyum menatap langit.

"Mia gak usah khawatir sama kakak di sini. Kakak bisa kok jaga diri. Kakak 'kan kuat." Rendi terkekeh padahal hatinya terasa sesak. "Mia juga gak usah sedih karena gak bisa liat burung lagi. Di sana Mia pasti bakal liat burung yang cantik-cantik sepuas Mia."

Rendi menunduk dalam. Menumpahkan semua air matanya.

"Kakak gak nangis kok." Rendi buru-buru mengusap air matanya dan mendongak. "Iya-iya, kakak gak akan nangis. Kakak janji." Rendi tersenyum meyakinkan Mia.

"Yaudah, kakak pergi dulu, ya. Mia tenang aja, kakak akan sering datang ke sini liat Mia. Kakak akan sering doain Mia sama nenek semoga kalian tenang di sana."

Rendi langsung menengadahkan tangannya dan merapalkan doa untuk adiknya. Setelah itu Rendi beranjak dari jongkoknya.

"Kakak pamit. Assalamualaikum."

Rendi langsung berbalik meninggalkan makam Mia. Seketika tangisnya pecah. Lelaki itu terus mengucapkan maaf pada Mia karena sudah ingkar janji telah menangis.

"Maaf, Mia."

Rendi berusaha meredakan tangisnya dengan mengucapkan kata-kata semangat untuk dirinya sendiri. Setelah keluar dari pekarangan makam, Rendi berhenti. Menatap langit yang cerah.

"Kita buat lembaran baru, Ren," ujarnya pada dirinya sendiri. "SEMANGAT!" serunya mengepalkan tangannya ke udara. Setelah itu Rendi kembali melanjutkan jalannya.

Setelah ini Rendi janji pada dirinya sendiri untuk hidup lebih baik. Hidup sendirian tanpa seorang nenek dan adik yang selalu berada di sampingnya, Rendi yakin dia bisa menjalani itu semua.

Bisa! Dia pasti bisa!

***

#1027kata

Kisah Resta✔On viuen les histories. Descobreix ara