Malik dan kebetulan

4.1K 1K 124
                                    

—    Malik dan kebetulan

Pemuda 22 tahun itu sedikit menjauhkan kupingnya dari spaker ponsel, ia tidak menyangka lengkingan omelan sang Ibu cukup menyakiti indera pendengarannya meski perempuan yang hampir kepala lima itu jauh di Bandung sedang Malik anak lelaki satu-satunya ada di Jakarta.

Begitu panjang ceramah pagi itu, yang ujungnya tentu saja Malik sudah tahu karena ia sudah diultimatum jauh-jauh hari sebelum berangkat kuliah ke Jakarta waktu itu.

"Ibu cuma bayarin kamu kuliah sampai semester delapan. Kalau kamu gak selesai juga di tahun ke empat, Ibu angkat tangan. Kamu usaha sendiri, Ibu gak mau tahu. Mau kerja di bengkel, pasang kabel, jadi pelayan café. Ibu gak peduli. Yang mau kuliahkan kamu."

Bukannya kejam, itu memang cara mendidik anak laki-laki di keluarganya untuk tidak bergantung pada orang tua jika sudah dewasa dan memilih jalan yang diinginkannya.

Tahu begini, Malik meneruskan saja usaha konveksi pakaian keluarganya di Bandung.

Tapi jurusan teknik elektro begitu mengugahnya, ia membayangkan akan menyenangkan belajar rangkaian listrik dan interaksi antar komponennya. Meski pada akhirnya Malik harus menyerah di beberapa mata kuliah, entah karena kesibukannya berorganisasi atapun otaknya yang sudah tidak mampu lagi.

"Ibu udah baik hati ngasih kamu kompensasi satu semester, uang kos kamu bahkan ibu bayar setahun penuh dan kabar apa yang ibu dapat? Kamu belum juga bisa selesai tahun ini Malik?"

"Malik janji tahun depan bu."

"Pokoknya ibu gak mau tahu, bulanan kamu, SPP kamu, ibu ga akan tanggung lagi. Angkat tangan Ibu nak! Ibu capek kerja ngurus konveksi, kamu sok-sokan kuliah, tidak selesai-selesai pula."

Siapa yang mau mengecewakan harapan orang tua? Tidak ada satu anakpun yang berpikir demikian, begitu juga Malik. Tapi apa daya? Kerjaannya sebagai mahasiswa semester tua memang hanya menyusahkan dan jadi beban ibunya di kampung.

"Tahun depan, Malik pasti beres kuliahnya Bu. Untuk SPP sama uang bulanan, Ibu gak usah khawatir, Malik bakal cari kerjaan part time. Lagian Malik udah gak punya banyak mata kuliah."

Mana ada Malik? Saking banyaknya nilai E dan D dari senin sampai jumat, ada saja kelas yang kamu ulangi, jadwal mu padat bak mahasiswa tahun kedua.

"Ya Ibu emang gak khawatir, ibu gak ngambil pusing. Ini pilihan kamu, ya tanggung jawab. Ya sudah, ibu tutup dulu, tetap jaga kesehatan kamu tapi gak usah pulang ke Bandung kalau kamu belum sarjana."

Malik membuang nafas berat dan akhirnya mengangguk dengan sambungan telepon yang sudah terputus.

***

Baru selang seminggu semenjak percakapan itu, tapi Malik tidak bisa membuktikan omongannya, ia belum juga mendapat pekerjaan paruh waktu atau bahkan satu waktu. Sementara keuangannya semakin menipis, masih untung ada Harun junior sekaligus tetangga kosnya yang kadang membagi lauk untuk Malik dan tentu saja terima kasih pada seluruh variant indomie yang menjadi penyelamat di saat seperti ini.

Siang itu terik Jakarta sama seperti biasa, sehabis kelas Malik memutuskan ke sekretariat BEM siapa tahu saja ada makan siang gratis atau tawaran pekerjaan.

Namun yang ia dapati hanya Lukman, teman seangkatan yang nasibnya sama seperti Malik, tidak kunjung selesai. Bagaimana mau cepat sarjana kalau Lukman lebih memilih ikut ekspedisi Elbrush ketimbang ikut UAS?

Kadang bukan hambatan yang memperlambat, melainkan beberapa kali ada pengecoh sebagai pilihan dan sebagian besar manusia menuruti kesenangannya.

"Luke!"

SUGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang