Let's moving on

2.6K 681 63
                                    

Let's moving on

Hidup tetap harus berjalan setelah sebulan berlalu, baik hidup Siwi sang kakak gula yang sibuk dengan launching buku barunya, maupun hidup Malik si adik gula yang sudah sejak pagi menanti dibagian akademik untuk mengajukan judul tugas akhirnya.

Malik menganggap dirinya sudah sedikit lupa, mencoba bangkit dan menerima nyata kalau ia dan Siwi memang hanya bertakdir singkat.

Slip pembayaran SPP miliknya ditatap sembari menghembuskan nafas yang kasar dan gusar, disesakkannya kertas itu ke dalam kantong celana sambil berguman...

"Baru kali ini gue bayar SPP kayak berat banget, walaupun hasil kerja sendiri."

Malik meraih ponsel dan masih mengamati beberapa orang yang lalu lalang, entah mengapa ia merasa hampa, mungkin karena hatinya yang sempat terisi kini kosong tak bersisa meninggalkan jejak kenangan.

"Anjir tapi kalau gue disuruh milih, gue gak akan ngembil kerjaan yang ditawarin dulu Lukman, endingnya bangsat gini soalnya."

Ia melakukan move onnya pelan namun berjalan baik, tapi rindu tentu tidak dilarangkan? Malik rindu Siwi dan selalu berharap kakak gula itu melakukan segala sesuatu dengan baik, seperti yang yang dilakukannya kini.

Arti lain dari kata rindu itu adalah siksa. Iya, Malik tersiksa kala ia menjatuhkan diri ke atas kasurnya tiap hari, teringat potongan demi potongan memori bersama Siwi.

Bahkan kadang Malik bisa membaui jejak Siwi pada di sana. Entah karena halusinasi atau wangi Siwi memang tidak pernah hilang di benaknya.

"Apa gue harus pindah?" Hampir setiap hari Malik menanyakan pertanyaan itu pada dirinya sendiri dan berakhir harus pasrah dan menyerah untuk melupakan karena tempat tinggalnya yang sudah dibayar setahun penuh.

Tapi harus apa Malik agar kenangan dan wangi itu hilang?

"Widia, udah ya? Jangan di hati dan pikiran ku lagi. Aku capek."

***

Padat sekali jadwal Siwi hari ini, ada tiga toko buku yang harus ia kunjungi untuk event tanda tangan dan bercengkrama dengan pembacanya.

Bisa dibilang buku barunya cukup diminati, terbukti buku tentang hubungan percintaan perempuan dewasa yang punya segalanya dengan seorang mahasiswa biasa itu selalu menempati rak best seller di banyak toko buku.

"Terima kasih semuanya yang udah dateng, semoga kita ketemu lagi ya di lain kesempatan, dengan kisah dan buku yang baru. Bye, have have a nice day everyone."

Setelah mengucapkan salam perpisahan Siwi dikawal orang dari penerbitanpun mencoba meninggalkan lokasi event sampai seorang pria mencegatnya dengan rangkaian bunga dan kemeja yang sudah berantakan, terlihat si pemuda pasti terburu-buru menuju lokasi hingga berlari dan berkeringat sedemikian rupa.

Ia bukan pembaca, bukan pula orang yang terlibat dalam karyanya, ia hanya seorang pria yang dijodohkan dengannya.

"Sorry, gue telat ya? Aduh macet banget Wi, aku ke gramedia yang di Matraman katanya eventnya udah selesai dan kamu sekarang ke sini, makanya aku nyusul."

Jani menyerahkan rangkaian bunga yang masih segar dan indah itu untuk perempuan yang tidak kalah indahnya.

"Oh iya, ini buat kamu, selamat atas pencapaiannya. I'm so proud of you."

Meski hati seorang perempuan sekeras batu, dengan perlakuan manis, sopan, pengorbanan dan juga afeksi seperti yang Jani berikan terus menerus, Siwi jamin ia akan luluh juga, atau setidaknya tidak ada lagi perasaan ingin melontarkan 'apaan sih lo?' lebih ke 'Terima kasih atas perhatiannya, terima kasih karena sudah mau repot'.

"Terima kasih Jan, bentar ya—" Setelah menerima bunganya, Siwi berbalik pada dua orang staff yang menemaninya hari ini. "—Mas, mba boleh pulang duluan ke redaksi, saya sama teman saya aja pulangnya."

"Baik mba Siwi, besok jadwalnya cuma satu, kita jemput sekitar jam 9 yah."

Anggukan Siwi juga sekaligus jadi tanda perpisahan, ia dengan langkah ringan berjalan menuju mobil milik Jani yang sudah menunggunya di parkiran, rencananya sebelum pulang mereka akan makan malam dan mungkin sedikit mengobrol ringan.

Jani berwawasan luas, apapun yang menjadi topik, laki-laki itu fasih dan selalu punya feed back, Siwi tidak pernah jenuh kalau harus mengobrol lama meski saat perempuan itu mencoba mencari debaran di dadanya seperti saat dengan Malik, ia belum bisa menemukannya pada Jani.

"Kucing yang kamu temuin gimana? Udah dibawa ke vet?"

"Udah, disuntik cacing dua hari yang lalu."

Sepi, mungkin itu yang membuat Siwi nekat membawa pulang salah satu kucing jalanan di depan kompleksnya, merawat, memberi makan dan kadang mengajaknya bicara, memeluk juga menciuminya gemas meski berbuah cakaran di beberapa bagian tubuhnya tapi Siwi bahagia memelihara Malik.

Iya, kucing itu diberi nama Malik. Jani tahu perkara nama itu, lalu apa responnya? Tidak ada, hanya senyum.

Meski hubungan mereka terjalin baik juga akrab, tapi tetap saja secara romantisme, hubungan Jani dan Siwi hanya berjalan di tempat. Sebabnya bukan karena Jani, tapi karena Siwi yang tidak mau maju meski ditarik bahkan digendong.

Dan hari Siwi selalu berakhir sama semenjak pergi dari Malik, pulang dengan keadaan kosong, mencari kucingnya memeluk, mengelus dan menciuminya dalam-dalam sembari memikirkan ia yang memiliki nama sama.

"Malik, hidup yang bener. Cepet gede, kakak mau bilang "Kakak tunggu." Tapi kelu, kalimatnya gak bisa keluar."

Meong~

Malik si kucing sepertinya paham kalau kalimat itu tidak tertuju untuknya.

"Have a good life, kesayangan kak Siwi yang paling manis... adik gula ku."

-To be continued-

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

SUGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang