Budaya patriarki dan stigma negatif kaum feminis

3K 843 161
                                    

— Budaya patriarki dan stigma negatif kaum feminis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— Budaya patriarki dan stigma negatif kaum feminis

Jas mahal memang terasa berbeda, kainnya tidak membuat Malik gerah dan juga gesekannya membuat tidak membuat kulitnya merasa tidak nyaman.

Laki-laki itu mematut dirinya sekali lagi di pantulan kaca mobil Siwi yang terparkir, Malik mengagumi gaya rambutnya ditata apik oleh Siwi. Kemeja bermotif catur di dalam jasnya terlihat elegant meski Harun sempat meledek motif yang katanya popular dikalangan jamet snack video itu.

Tapi lihat, harus Malik akui ia mirip dengan anak pengusaha kaya yang dimanjakan uang sejak kecil dan tumbuh menjadi bangsat yang pindah berkala dari club ke club lain— oke lupakan, itu hanya imajinasinya. Mungkin karena bergaul sepuluh harian dengan Siwi  yang seorang penulis membuatnya juga ikut jago membuat konsep cerita di kepalanya.

"Kak— eh Widia," Malik mengoreksi panggilannya, ah ia tidak terbiasa tidak menyematkan 'kak' di depan nama orang yang lebih tua darinya.

"Masuk sekarang?"

Siwi masih memperhatikan Malik secara saksama dari kaki hingga ujung rambut, gadis itu lalu mengangguk-angguk melihat laki-laki itu begitu sempurna dibalik semua barang-barang pilihannya.

Tubuh tegap, bahu lebar, badan yang benar-benar jadi, dan wajah yang mendukung semua proporsi itu, ditambah wangi parfum yang meski Siwi tahu harganya tidak seberapa— tapi begitu cairan wangi itu menyentuh kulit Malik maka bau maskulin yang sexy akan mengacak indera penciumannya.

"Yuk."

Lalu saat Siwi mendahuluinya Malik baru sadar, gaun dusty blue yang digunakan kakak gulanya terbuka penuh dibagian punggung.

Jangan lupakan betapa ketatnya fabric itu membungkus dan membentuk tubuh Siwi— ah kenapa juga gaun itu harus robek sampai paha? Kakak gulanya itu niat pakai baju gak sih?

"Hah?" Mulut Malik terbuka lebar.

Perasaan saat di kosnya tadi Siwi menggunakan luaran seperti breasted blazer. Lalu kenapa  tiba-tiba ia bertelanjang punggung seperti itu?

"Kak— eh Widia! Kamu gak mau ganti baju dulu? Maksud aku,"

Malik meringis, tone dominantnya berganti bisik yang manja sama seperti Malik biasanya.

"Kakkkk itu kebuka banget tau. Tuh paha sama punggung kakak kemana-mana! Mana rambut kakak digulung gitu. Lihat nih ya nih punggung—"

Malik menghentikan ocehannya begitu melihat bekas jahitan digaris punggung Siwi. Ia teringat cerita gadis itu jatuh dari top wall dan menderita cedera tulang punggung yang serius hingga mengakibatkan Siwi tidak bisa duduk terlalu lama karena akan kesakitan nantinya.

"Itu bekas operasi." Sambar Siwi.

"Gak apa-apa dilihat orang?"

Siwi malah terkekeh, jika tidak mengingat ia sudah susah payah berperang dengan catok demi rambut badai Malik— ia akan mengacak rambut itu sebagai sasaran gemas seperti biasa.

SUGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang