1. Masa Lalu

4.2K 510 55
                                    

"Aku kangen."

Dua kata itu diucapkan oleh seorang perempuan kepada suamiku, dua pekan lalu, ketika berada di rumah kami, dan saat aku undur diri ke dapur untuk membuatkan minum. Sayangnya, aku masih bisa mendengar lamat-lamat.

Gerakan tanganku memutar sendok di dalam gelas melambat. Aku siap siaga memasang telinga, bahkan berharap punya alat untuk menguping dengan lebih jelas.

Sepertinya suamiku tidak menjawab. Namun, bisa saja dia menjawab dengan bisikan. Pikiranku makin berspekulasi karena mereka berdua tidak terlihat dari tempatku saat ini. 

Bagaimana kira-kira situasi di ruang tamu? Apa yang dilakukan perempuan itu ketika mengatakan "aku kangen" kepada suamiku? Di mana posisi tangannya? Bagaimana cara dia menatap? Apakah dengan tatapan rindu? Apakah suamiku balas menatapnya?

Sayangnya, ketika aku kembali ke ruang tamu, posisi mereka masih terlihat sama seperti saat aku pamit ke dapur. Suamiku dan perempuan itu duduk berseberangan. Tidak terlihat mereka habis berdekatan atau semacamnya. Hanya saja, suamiku terlihat agak salah tingkah dan menatapku dengan sorot bersalah.

"Terima kasih, ya."

Lamunan akan kejadian di ruang tamu itu terpaksa berhenti ketika deru mobil disusul suara perempuan berterima kasih yang terdengar samar-samar. Pikiranku ditarik paksa kembali ke ruangan kamar yang sejuk ini.

Kulirik jam digital di meja kerja, rupanya sudah pukul sebelas malam, berarti aku sudah terbenam pada buku di tanganku selama dua jam.

Sebenarnya aku tidak berniat menunggunya pulang, tetapi bacaan ini yang akhirnya membuatku terjaga sampai dia datang. Tadi ada sebuah adegan di dalam novel ini yang membuatku kembali teringat kejadian di ruang tamu dua pekan yang lalu.

Kudengar suara kunci pintu utama terbuka. Kemudian, terdengar suara pintu terbuka lalu menutup kembali secara perlahan. Tandanya dia sudah masuk rumah.

Dan akhirnya pintu kamar kami terbuka.

Di sanalah suamiku, terkejut sampai hampir terlonjak. Pegangannya pada kenop pintu hampir lepas. Mungkin dia pikir aku sudah tidur, seperti hari-hari biasanya.

Dia terlihat ... berantakan.

Pakaiannya kusut, seperti wajahnya yang juga ditekuk sepuluh. Rambut bergelombangnya sudah mulai gondrong, kini terlihat acak-acakan. Kemeja krem yang tadi pagi rapi selicin pipi bayi, kini bagian bawahnya sudah dikeluarkan dan lengannya digulung. Aku juga baru menyadari bahwa mulai ada warna abu-abu di area pipi bawah sampai dagu. Entah kapan terakhir kali dia bercukur karena berewoknya sudah mulai tumbuh lagi.

Dari sekian kekacauan itu, ada satu hal yang paling mencolok. Memar di pelipis dan sedikit darah di ujung bibir kanan.

"Belum tidur?" tanyanya sambil melangkah masuk. Dia pun mengempaskan tubuhnya ke kasur dan melempar tas kerjanya sembarangan.

Aku tidak menjawab, hanya mengangkat buku di tanganku dengan alis terangkat.

Dia memejam dan menghela napas pelan. Lelaki itu terlihat enggan bangkit dari kasur, tetapi aku tahu, dia tidak bisa tidur tanpa mandi terlebih dahulu.

Sebagai istri normal, seharusnya aku bertanya, mengapa baru pulang pukul segini? Mengapa penampilannya seperti habis dari ring tinju? Mengapa dia pulang bersama tetangga yang ternyata adalah mantannya? Apakah mereka kembali menjalin hubungan? Dan ... berondongan pertanyaan lain.

Akan tetapi, aku bukan istri normal. Hubungan kami pun entah sejak kapan terasa tidak normal. Hambar dan formalitas belaka. Pernikahan kami menjadi dingin setelah kejadian hampir tiga tahun yang lalu. Peristiwa yang membuatku kehilangan kepercayaan kepada Awan, sosok lelaki yang dulu sangat kucintai.

Sorry, Thank You, and Fall In Love Again (Wattys Winner 2022)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang