2. Dasi

2.6K 445 40
                                    

Selamat membaca. Silakan tinggalkan jejak setelah membaca :)

***

Seperti pagi-pagi sebelumnya selama hampir tujuh tahun pernikahan, aku selalu menyiapkan pakaian kerja bagi Awan. Kali ini, kemeja putih bergaris biru dan blazer yang juga berwarna biru.

"Terima kasih, Av." Awan datang dengan sudah mengenakan singlet tipis dan celana pendek.

Aku hanya mengangguk singkat. Hanya Awan yang memanggilku "Av", bukan "Vie" seperti kebanyakan orang.

Aku bermaksud meninggalkannya berpakaian, tetapi tiba-tiba lengannya melingkari bahuku dari belakang. Dia membenamkan wajahnya pada ceruk leherku. Seketika tubuhku menegang dan tanpa sadar aku menahan napas.

"Love you, Av."

Kata-kata itu juga yang selalu menjadi tamengnya. Entah, apakah benar diucapkan tulus dari hati, atau sekadar formalitas.

Dia membalik tubuhku hingga menghadap kepadanya. Ibu jari dan telunjuknya menggamit daguku. Kepalanya semakin menunduk dan mendekat dengan wajahku. Hangat napasnya sudah terasa di puncak hidung.

"Ehm." Aku berdeham, menunduk, dan sedikit mundur. "Sudah siang, Wan. Nanti kamu terlambat." Kemudian, aku mengambil baju tidur di tangan Awan dan membelakanginya.

Aku bisa merasakan bahwa dia kecewa di balik punggungku. Suasana tidak enak menggantung di udara kamar ini. Dari pantulan cermin meja rias, sekilas aku melihatnya menatapku dengan sorot terluka. Bukan sekali ini aku menolaknya. Penolakan kali ini juga terlihat sangat kentara.

Aku pura-pura melipat baju tidur Awan sambil tetap sesekali mengawasi dari pantulan cermin. Setelah hampir sepuluh detik menatapku dengan tanya, akhirnya Awan bergerak. Dia berpakaian lalu mengambil arloji dari nakas di samping tempat tidur kami lalu memakainya. Kemudian, dia berjalan mendekat kepadaku yang berdiri di depan meja rias.

Kupikir, dia akan melakukan hal yang sama seperti tadi. Ternyata, dia hanya membungkuk dan tangannya terulur melewatiku untuk mengambil botol parfum. Dia memang punya banyak koleksi parfum, kebanyakan dari hadiah reward karyawan terbaik yang pernah disabet beberapa kali. Kali ini dia mengambil parfum Tom Ford yang botolnya berwarna hitam.

Awan menyemprotkan parfum ke dada dan kedua pergelangan tangannya. Hanya semprotan kecil, tetapi harumnya bisa menempel sampai malam.

Dulu, sebelum kejadian itu, aku sangat suka aromanya ketika pulang kerja. Parfum itu sudah bercampur dengan aroma khas tubuhnya. Bercampur juga dengan aroma ruang kerjanya, terkadang ada bau asap rokok. Bukan karena Awan merokok, hanya saja dia terkadang berkumpul dengan teman-temannya yang perokok.

"Aku sudah transfer ya, Av," katanya sebelum keluar kamar.

"Iya, terima kasih, Wan."

Awan berhenti di ambang pintu. Dia terlihat bimbang. Kemudian, Awan berjalan cepat kembali masuk ke kamar dan mengecup dahiku singkat.

Setelah mengecupku, dia malah menatapku ngeri. Seolah aku akan mengamuk. Namun, tidak. Meskipun agak terkejut, aku mencoba bersikap biasa dan tersenyum kecil. Dia pun perlahan berjalan mundur dan keluar dari kamar.

Sepeninggal Awan, aku mengecek m-banking. Seperti biasa, Awan mengirimkan sejumlah besar nominal. Aku tahu, dia hanya menyisihkan sedikit untuk dirinya. Secukupnya untuk makan siang, meeting dengan klien di luar kantor, dan bensin mobil. Angka ini juga sudah tentu cukup untuk belanja bulanan, pesan antar makanan setiap hari, biaya sekolah Nayla, bahkan uang bulanan untuk mertua dan iparku.

Sorry, Thank You, and Fall In Love Again (Wattys Winner 2022)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang