3. Kontradiksi Kenyamanan

2.4K 407 51
                                    

"Sudah lama, Pak Adrian?"

Kafe ini tidak jauh dari kediamanku yang berlokasi di Pondok Bambu. Suasana kafe di pagi hari pada Rabu ini juga cukup sepi. Hanya ada dua meja terisi, salah satunya adalah klienku. 

"Pakai baju begini, apa cocok dipanggil "Pak", Ibu Xaviera?" balasnya.

Aku tertawa kecil. Dia benar. Penampilannya saat ini tidak pantas untuk dipanggil bapak. Setelannya kaos polos dilapis kemeja flanel kotak-kotak, celana jin, dan sneaker putih. Pemuda tiga puluhan ini terlihat seperti anak kuliahan. 

"Dan saya, emang cocok dipanggil "Ibu"?"

Adrian menatapku dari kepala sampai kaki dengan gaya sok berpikir. Tangannya mengetuk dagu, sementara tangan satu lagi terlipat di perut. 

"Seperti ABG."

Aku tertawa lagi. Gaya pakaianku hari ini adalah kemeja oversized putih dengan celana jin model pensil. Masih cocok mengimbangi anak kuliahan di depanku. 

"Kalau orang lihat, kita kayak lagi pacaran. Nggak terlihat kalau beda usia lima tahun. Mbak Avie terlihat sangat segar dan enerjik," pujinya. 

"Nutrisari kali, segar," selorohku. Aku sudah siap membuka aplikasi akuntansi di layar MacBook dan beberapa kertas sebagai catatan. 

"Udah sarapan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Sayangnya, Mbak Avie harus nemenin saya brunch (breakfast-lunch) dulu. Saya sudah pesan dua croissant. Katanya bacon croissant di sini enak. Sama latte panas, itu favorit Mbak Avie, kan?"

Rupanya dia masih ingat, meskipun ini baru pertemuan kedua kami. 

Aku menghela napas pasrah ketika akhirnya piring croissant harus menggeser laptopku, terpaksa menemaninya makan sebelum memulai diskusi. 

"Kamu tau lah, Mbak. Anak kuliahan kayak saya mana sempat sarapan. Apalagi saya CEO."

"Kamu ada kelas hari ini?" Kami memang baru bertatap muka di dunia nyata sebanyak dua kali, tetapi sering juga video call untuk meeting. Namun, rasanya aku seperti sudah mengenal Adrian untuk waktu yang lama. Mungkin karena pembawaannya yang easy going.

"Ada. Tapi online. Jadi, dari jam delapan saya sudah di sini. Untungnya kafe sudah buka, meskipun tadi pagi baru sedia minuman."

"Berapa semester lagi?"

"Satu. Ini, kan, saya bikin perusahaan, sekaligus jadiin bahan tesis." Adrian nyengir. Wajahnya ketika tersenyum lebar seperti ini terlihat lucu. Keriput di sudut matanya menjadi daya tarik tersendiri bagi pria itu. 

"Kamu itu berani, lho. Dulu, setelah SMA menunda kuliah untuk bisnis. Terus, setelah bisnis mulai jalan, kamu baru mulai ambil S1 di usia 24 tahun. Sekarang, udah mau selesai S2." Aku berdecak kagum. Croissant di piringku sudah hampir habis. Dia benar, croissant-nya enak. Lembutnya sempurna, lapisan-lapisannya super tipis yang membuat roti ini seperti tisu. Apalagi rasa butter dan kejunya. Benar-benar lezat. 

"Mbak, hidup cuma sekali. Sayang kalau dilewati tanpa berprinsip. Saya tau tujuan saya, dan apa yang harus saya lakuin."

"Ya, ya, ya. Omong-omong, kenapa hire financial consultant? Apalagi, sertifikat sebagai freelance saya belum keluar," tanyaku penasaran. Makanan di piringku sudah hampir habis. 

"Enak ya?" Adrian menyela topik pembicaraan dan mengedikkan kepalanya kepada piringku. 

Kemudian, dia melanjutkan. "Mbak, kamu harus tahu, awal bikin perusahaan itu, saya rugi 100 juta. Saat itu, saya kayak hilang arah. Saya juga nggak tahu, uang saya hilang ke mana. Lalu saya sadar, cashflow perusahaan berantakan. Saya punya staff keuangan, tapi yah ...," Adrian mengibaskan tangan kanannya yang memegang pisau, "sekadar mengisi jabatan. Ternyata, hal terpenting dalam bisnis, selain marketing, adalah manajemen keuangan yang baik."

Sorry, Thank You, and Fall In Love Again (Wattys Winner 2022)Where stories live. Discover now