5. Merayakan Hari Jadi

1.8K 359 39
                                    

"Av, aku berangkat dulu ya. Pakaian udah aku cuci, tapi aku kayaknya nggak sempat jemur, deh. Aku udah telat." Awan berteriak kepadaku. Kemudian, suara gedebuk terdengar. 

"Kamu pakai sepatu sambil berdiri lagi?" balasku setengah berteriak dari dalam kamar mandi.

"Iya. Nggak apa-apa, kok. Aman!"

Sambil bersahutan dengan suara tawa Nayla yang masih balita, diiringi kecipakan air, aku menyahut, "Iya, makasih ya!"

"Aku berangkat, love you! Assalamualaikum!"

Nayla adalah anak perempuan kecil, mungil, dan manis. Tapi, dia sungguh aktif.

Kamar mandi ini sudah basah semua karena dia menyemprotkan air ke segala arah. Bahkan, busa sabun di mana-mana.

"Nay—aah!" Aku terpeleset dan hampir saja terjatuh karena tiba-tiba Nayla keluar dari kamar mandi, berlarian dengan bertelanjang. Untungnya tanganku sempat berpegangan pada dinding.

Aku mengembuskan napas lelah. Ini baru pukul setengah delapan pagi, tetapi rasanya sudah seharian menangani kerepotan ini. Sejenak kupandangi rumah yang baru seminggu ini kami tempati.

Setelah sekian tahun, akhirnya kami bisa membeli rumah impian, meskipun dengan cicilan dua puluh lima tahun dan bulanannya menghabiskan setengah dari gaji Awan. Hanya saja, rumah ini terlihat lucu. Rumah dua lantai bergaya modern, berada di sebuah town house cukup elit, tetapi perabotannya masih perabotan lama dari kontrakan kami dulu.

"Bu! Bu! Itu anaknya—!"

Astagfirullah! Di mana Nayla?

***

Ingatan tentang teriakan tetangga di pintu rumah itu selalu membuatku merinding, meskipun kejadiannya sudah berlalu tiga tahun. Refleks aku menggenggam tangan Nayla yang duduk di sampingku. Kami sedang dalam perjalanan ke sekolah Nayla. Aku mengendarai mobil kecil yang diberikan oleh Awan sebagai sarana bepergian.

"Kenapa, Ma?" tanya Nayla bingung ketika tiba-tiba aku menggenggam tangannya.

Aku mengerjap. Napasku agak sesak, tetapi buru-buru kuatur kembali supaya Nayla tidak khawatir. "Nggak apa-apa, Sayang." Aku tersenyum tipis kepadanya. Kemudian, warna lampu lalu lintas berubah menjadi hijau kembali. Aku pun melanjutkan perjalanan.

Nayla sudah masuk ke kelas dan aku akan meninggalkannya sebentar untuk berbelanja bulanan. Maka, aku pun berbelok ke sebuah mal. Mal ini memang baru akan buka setengah jam lagi, tapi aku bisa menunggu sambil ngopi di kafe seberangnya.

Begitu mengempaskan diri ke sebuah sofa di sudut ruangan, aku pun langsung membuka MacBook. Ada sedikit pekerjaan dari Adrian. Adrian ingin tahu perkiraan berapa lama lagi perusahaan bisa punya uang dingin untuk diinvestasikan. Namun, baru sebentar aku menghitung-hitung menggunakan aplikasi cashflow, ponselku berbunyi. Panggilan masuk dari Awan.

"Halo," sapaku.

"Av, nanti malam nggak ke mana-mana, kan?" tanyanya.

"Enggak. Ke mana? Kan aku nggak sibuk kayak kamu." Aku sengaja menyindirnya. Memang benar, dia yang sering pulang malam karena harus meeting ke sana-sini.

Aku bisa mendengarnya menghela napas di seberang telepon sana. Aku tahu, kalimatku tadi pasti menyebalkan.

"Aku udah reservasi restoran buat nanti malam ya. Kita dinner di luar. Nayla biar aku titip ke Ibu. Nanti aku minta Wanto buat antar Nayla ke Condet atau ke Bogor." Wanto adalah OB di kantor Awan, tapi sering dimintai tolong oleh Awan meskipun sudah di luar jam kantor. Tentu saja dengan bayaran tambahan.

Sorry, Thank You, and Fall In Love Again (Wattys Winner 2022)Where stories live. Discover now